Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan
Rapor Hukum Jokowi-JK

Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan

Selama masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penataan regulasi digenjot. Kebijakan deregulasi dijalankan untuk memperlancar izin usaha. Terhalang persoalan kewenangan.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Berkaitan dengan penataan regulasi, pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan ada tiga poin penting yang perlu diperhatikan: penguatan pembentukan, revitalisasi evaluasi, dan penataan database peraturan. Menurut dia, selama ini Pemerintah masih fokus pada penataan peraturan yang tumpah tindih. Meski begitu, upaya ini patut diapresiasi.

 

Tapi Bivitri memberi catatan, meskipun penataan itu penting untuk kemudahan berinvestasi yang menjadi target Presiden Jokowi, banyak juga problem lain yang harus dipikirkan oleh pemerintah. "Problemnya sangat banyak dan yang terpenting adalah soal HAM, termasuk Perda bernuansa syar’iah dan diskriminasi terhadap perempuan. Masalahnya, setelah itu kan keluar putusan MK yang membuat pemerintah Pusat tidak bisa lagi mencabut Perda. Harusnya ada upaya konkret dari pemerintah untuk mengatasi hal ini," kata Bivitri.

 

Solusi lain yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi tumpang peraturan adalah menerbitkan pedoman penyelesaian sengketa antar peraturan. Pedoman ini tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Melalui Jalur Nonlitigasi. Bivitri mengapresiasi kebijakan ini karena bisa menyelesaikan norma yang saling berseberangan (conflicting norms).

 

Sebaliknya, Bivitri berpendapat Pemerintah belum banyak melakukan upaya yang penguatan pembentukan dan penataan database. Secara teknis, memang ada upaya yang dilakukan. Misalnya dalam hal peningkatan kapasitas perancang dan pengikutsertaan praktisi dan ahli dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan. “Namun saya melihat belum ada politik hukum yang jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," jelasnya.

 

Jenis dan Jumlah Peraturan yang Telah Dideregulasi

Hukumonline.com

 

Politik Hukum

Dalam konteks politik legislasi secara umum, Bivitri mengatakan, seharusnya pemerintah mempunyai tujuan penguatan negara hukum yang terkandung isu-isu HAM, anti korupsi dan penguatan demokrasi. Sementara jika dilihat selama ini, posisi isu-isu tersebut belum nampak.

 

Bivitri mencontohkan proses perubahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pada saat pembahasan, Pemerintah cenderung tidak punya sikap tegas meskipun saat itu penolakan dari masyarakat cukup kuat. Demikian pula ketika pembahasan RUU KUH Pidana. "Kita harus ingat, Konstitusi mengatakan bahwa pembahas UU itu tidak hanya DPR tetapi juga pemerintah. Harusnya pemerintah mengambil posisi yang kuat dan harus punya politik legislasi," ungkapnya.

 

Jika Pemerintah tidak menyasar ke aspek penguatan, Bivitri khawatir peraturan tupang tindih akan terus muncul. Penguatan pembentukan itu berbasis pada politik hukum yang jelas. Faktanya, persoalan tumpang tindih sangat kompleks, dan jenis peraturan tumpang tindih sangat banyak. "Walau ada peraturan tumpang tindih yang sudah dibenahi, akan muncul lagi peraturan tumpang tindih lainnya. Ibaratnya, mati satu tumbuh seribu,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait