Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan
Rapor Hukum Jokowi-JK

Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan

Selama masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penataan regulasi digenjot. Kebijakan deregulasi dijalankan untuk memperlancar izin usaha. Terhalang persoalan kewenangan.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Selama memerintah sejak Oktober 2014 hingga kini, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah berkali-kali mengeluarkan paket kebijakan deregulasi. Pemerintah mencabut dan mendorong pemerintah daerah untuk mencabut peraturan-peraturan yang menghambat kemudahan berusaha. Pemerintah mengklaim telah membatalkan ribuan peraturan yang menghambat. Lembaga-lembaga pemerintah juga melakukan penataan regulasi secara intensif.

 

Pada Januari 2017 silam, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Paket Reformasi Hukum Jilid II, sebagai kelanjutnya Paket Reformasi Jilid I. Salah satu fokus kebijakan Paket Jilid II adalah penataan regulasi. Penataan ini dilakukan untuk menopang kebijakan Pemerintah mempermudah investasi dan kemudahan berusaha. Alhasil, penataan menyangkut banyak aspek perizinan. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sampai menggelar beberapa kali acara lintas lembaga untuk membicarakan penataan regulasi.

 

Di balik kebijakan penataan regulasi itu, pernahkah Anda menghitung berapa jumlah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang diteken Presiden Jokowi selama masa pemerintahannya? Berdasarkan penelusuran hukumonline, sejak resmi dilantik hingga semester pertama tahun 2018, Presiden Jokowi telah mengeluarkan tak kurang dari 347 Peraturan Pemerintah (PP) dan 533 Peraturan Presiden (Perpres).

 

Selain menerbitkan regulasi baru, Pemerintah mencabut banyak peraturan yang dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan peraturan yang menghambat kemudahan berusaha. Sebagian besar peraturan yang dianggap bermasalah berkaitan dengan bisnis. Pemerintah mengumumkan telah mencabut ribuan peraturan di bawah Undang-Undang meskipun daftar peraturan yang dicabut itu tak pernah dirilis secara resmi.

 

Hukumonline.com

 

Menurut Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati, Pemerintah sudah melakukan penataan terhadap 434 regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mulai dari Peraturan Menteri dan Peraturan Ketua Lembaga hingga Surat Edaran Dirjen.

 

Diani membenarkan deregulasi yang dilakukan Pemerintah banyak berkutat pada bidang ekonomi. Empat bidang yang menjadi perhatian besar pemerintah adalah investasi, perizinan, ekspor/impor, dan kemudahan berusaha. Fokus bidang ekonomi ini relevan dengan upaya pemerintah menarik investasi masuk ke Indonesia. Dengan mempermudah izin diharapkan investor tertarik menanamkan saham di Indonesia.

 

Diani mengklaim pemerintah berusaha  menghapus separuh dari sekitar 42 ribu peraturan yang ditengarai tumpang tindih. Targetnya, pada 2025 mendatang sudah 21 ribuan regulasi yang diperbaiki. "Artinya per-tahun itu ada 200-an peraturan yang dideregulasi, dan dalam prosesnya, melibatkan kementerian dan pihak-pihak yang bersangkutan," jelasnya.

 

Berkaitan dengan penataan regulasi, pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan ada tiga poin penting yang perlu diperhatikan: penguatan pembentukan, revitalisasi evaluasi, dan penataan database peraturan. Menurut dia, selama ini Pemerintah masih fokus pada penataan peraturan yang tumpah tindih. Meski begitu, upaya ini patut diapresiasi.

 

Tapi Bivitri memberi catatan, meskipun penataan itu penting untuk kemudahan berinvestasi yang menjadi target Presiden Jokowi, banyak juga problem lain yang harus dipikirkan oleh pemerintah. "Problemnya sangat banyak dan yang terpenting adalah soal HAM, termasuk Perda bernuansa syar’iah dan diskriminasi terhadap perempuan. Masalahnya, setelah itu kan keluar putusan MK yang membuat pemerintah Pusat tidak bisa lagi mencabut Perda. Harusnya ada upaya konkret dari pemerintah untuk mengatasi hal ini," kata Bivitri.

 

Solusi lain yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi tumpang peraturan adalah menerbitkan pedoman penyelesaian sengketa antar peraturan. Pedoman ini tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Melalui Jalur Nonlitigasi. Bivitri mengapresiasi kebijakan ini karena bisa menyelesaikan norma yang saling berseberangan (conflicting norms).

 

Sebaliknya, Bivitri berpendapat Pemerintah belum banyak melakukan upaya yang penguatan pembentukan dan penataan database. Secara teknis, memang ada upaya yang dilakukan. Misalnya dalam hal peningkatan kapasitas perancang dan pengikutsertaan praktisi dan ahli dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan. “Namun saya melihat belum ada politik hukum yang jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," jelasnya.

 

Jenis dan Jumlah Peraturan yang Telah Dideregulasi

Hukumonline.com

 

Politik Hukum

Dalam konteks politik legislasi secara umum, Bivitri mengatakan, seharusnya pemerintah mempunyai tujuan penguatan negara hukum yang terkandung isu-isu HAM, anti korupsi dan penguatan demokrasi. Sementara jika dilihat selama ini, posisi isu-isu tersebut belum nampak.

 

Bivitri mencontohkan proses perubahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pada saat pembahasan, Pemerintah cenderung tidak punya sikap tegas meskipun saat itu penolakan dari masyarakat cukup kuat. Demikian pula ketika pembahasan RUU KUH Pidana. "Kita harus ingat, Konstitusi mengatakan bahwa pembahas UU itu tidak hanya DPR tetapi juga pemerintah. Harusnya pemerintah mengambil posisi yang kuat dan harus punya politik legislasi," ungkapnya.

 

Jika Pemerintah tidak menyasar ke aspek penguatan, Bivitri khawatir peraturan tupang tindih akan terus muncul. Penguatan pembentukan itu berbasis pada politik hukum yang jelas. Faktanya, persoalan tumpang tindih sangat kompleks, dan jenis peraturan tumpang tindih sangat banyak. "Walau ada peraturan tumpang tindih yang sudah dibenahi, akan muncul lagi peraturan tumpang tindih lainnya. Ibaratnya, mati satu tumbuh seribu,” tegasnya.

 

Rapat Koordinasi Penataan Regulasi yang diselenggarakan BPHN pada 7 Februari silam jadi ajang ‘curhat’ dan penyamaan persepsi para pemangku kepentingan bidang regulasi dari banyak lembaga. Di forum itu itu, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (kala itu) Enny Nurbaningsih menceritakan tentang bagaimana alotnya pembahasan RUU Migas karena ego sektoral.

 

Persoalan ego sektoral sudah berkali-kali disebut sebagai penyumbang banyaknya tumpang tindih peraturan. Masing-masing lembaga mengatur masalah tertentu tanpa memikirkan lebih jauh imbasnya pada kewenangan lembaga lain. Solusi yang ditempuh pemerintah adalah menempatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai law center Pemerintah. Tetapi karena Kementerian ini sederajat dengan Kementerian lain persoalan ego sektoral tak sepenuhnya bisa diatasi. “Peran koordinasinya cenderung tidak terlalu dianggap oleh kementerian atau lembaga lain, padahal sebenarnya penting sekali. Di sinilah peran kepemimpinan Presiden," ujar Bivitri.

 

Baca juga:

 

Tantangan

Upaya Pemerintah menata regulasi sudah dilakukan secara intensif mendapat tantangan relatif berat dalam satu tahun ke depan. Kewenangan Pemerintah membatalkan peraturan daerah dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 terkait pengujian UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menghapus kewenangan Pemerintah khususnya Kemendagri membatalkan Perda. Mahkamah beralasan sesuai UUD 1945, kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang ada di tangan Mahkamah Agung.

 

Dengan kata lain, pembatalan Perda oleh Mendagri atau Gubernur bertentangan dengan konstitusi. Pemerintah hanya punya kewenangan melakukan executive preview. Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD) mengkritik putusan Mahkamah Konstitisi tersebut karena akan berdampak pada aktivitas perekonomian. Selama ini, KPPOD melihat aktivitas perekonomian terhambat karena urusan perizinan dan beragam pungutan yang tertuang dalam peraturan di daerah.

 

Implikasi putusan itu, pertama, penghapusan pengawasan pemerintah pusat atas perda (ex-post); kedua, menghambat policy delivery dari pusat ke daerah (Paket Kebijakan, Deregulasi dan Debirokkratisasi). Selain itu, putusan Mahkamah dapat menghapus sistem check and balance terhadap pengawasan Perda; dan menempatkan masyarakat, kelompok dan sektor privat sebagai pihak yang secara vis-à-vis berhadapan atau berkonflik dengan pemda.

 

Peneliti KPPOD Mohammad Yudha Prawira menegaskan, bahwa dua putusan MK tersebut justru menimbulkan potensi ketidakpastian hukum di daerah. Pasalnya, upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum di daerah akan menjadi sangat terhambat. Meskipun pencabutan executive preview hanya terhadap produk hukum perda (tidak termasuk perkada), namun kini harapan untuk memberikan kepastian hukum atas perda akan mengarah kepada MA. Mahkamah Agung mau tidak mau harus mengemban tugas penting ini sendirian. Terlepas dari putusan MK ini, kata Yudha, Pemerintah tetap melakukan deregulasi peraturan demi mencapai target-target yang sudah disusun.

 

Permenkumham

Bivitri sempat menyebutkan, bahwa ‘ego sektoral’ menjadi salah satu problem tumpang tindihnya regulasi. Pemerintah pun tampaknya menyadari persoalan tersebut. Pemerintah merespons dengan menerbitkan Permenkumham No. 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah NonKementerian, atau Rancangan Peraturan Dari Lembaga Nonstruktural Oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan. Permenkumham ini baru dinyatakan berlaku pada 23 September 2018.

 

Secara garis besar, beleid ini berupaya mengatur produk hukum setingkat Permen, Peraturan Lembaga NonKementerian, dan Peraturan Lembaga NonStruktural dimulai dari rancangan peraturan. Artinya, Kemkumham memiliki ‘kewenangan baru’ untuk mengatur proses pembuatan sebuah regulasi sejak awal, yakni dalam tahap rancangan.

 

Permenkumham ini pada dasarnya mengatur bahwa kementerian yang memprakarsai sebuah regulasi harus mengajukan permohonan ke Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Dirjen PP akan melaporkan permohonan kepada Perancang disertai dengan  naskah urgensi atau gambaran umum arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan, dan rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Rancangan Peraturan dari Lembaga Nonstruktural.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan, kehadiran Permenkumham No. 23 Tahun 2018 berpotensi memunculkan persoalan baru. Pemerintah memang berniat baik agar tidak ada regulasi yang saling tumpang tindih di kemudian hari. Tetapi beleid ini bisa menyeret Kementerian melampaui kewenangan dalam proses legislasi sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).

 

Menurut Charles, Kemenkumham tidak memiliki kewenangan untuk mengharmonisasi peraturan setingkat menteri (Peraturan Menteri). Pasal Pasal 54 ayat (2) UU PPP menyebutkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Bunyi pasal tersebut ditujukan untuk Peraturan Pemerintah (PP). “Kemenkumham cuma berwenang di Peraturan Pemerintah (PP),” kata Charles kepda hukumonline, Kamis (6/9).

 

Charles juga menyoroti nomenklatur kata ‘harmonisasi’ dan ‘sinkronisasi’. Jika ditelusuri di peraturan perundang-undangan, nomenklatur harmonisasi dan sinkronisasi yang menjadi kewenangan Kemkumham tidak jelas. Ia menilai, wewenang klarifikasi dan harmonisasi Kementerian Hukum dan HAM berada pada mekanisme pengundangan.

 

“Yang dipertanyakan adalah apa kewenangan Kemkumham melakukan harmonisasi. Karena kalau dibaca UU No. 12 Tahun 2011, itu kewenangannya lebih ke pengundangan. Jadi Kemenkumham diberi kewenangan untuk mengatur perundangan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait