Menakar Penanggulangan Korupsi dalam Kinerja Pansel KPK
Kolom

Menakar Penanggulangan Korupsi dalam Kinerja Pansel KPK

​​​​​​​Keberhasilan menyeleksi orang-orang terbaik yang tidak diragukan reputasi antikorupsinya adalah keberhasilan Pansel dalam mewujudkan impian seluruh bangsa ini.

Bacaan 2 Menit

 

Kengototan Pansel meneruskan proses dengan mengabaikan suara publik sehingga membiarkan orang-orang “bermasalah” dari sisi integritas maju terus dalam tahapan selanjutnya merupakan pengingkaran terhadap amanat tugas Pansel sendiri. Dalam konteks tanggapan masyarakat ini pula, dengan tenggat waktu yang relatif singkat ini, Pansel masih harus memenuhi beberapa tahapan lagi seperti profile assessment, wawancara dan uji publik.

 

Pertanyaannya, apakah Pansel tetap memberikan ruang untuk publik? Harapannya ruang itu tetap ada, sehingga Pansel dibantu dengan dukungan publik. Jika secara murni mengikuti alur target Pansel yang akan menyerahkan nama-nama calon kepada Presiden di awal bulan September mendatang, maka kemungkinan Pansel benar-benar mendengarkan penilaian publik atas kesepuluh calon atau bisa jadi jika Pansel tetap mempertahankan gaya toleransinya maka ada calon-calon rentan masuk calon terpilih.

 

Kita pasti berharap dengan kolaborasi yang baik, Pansel mampu menyaring sepuluh orang dengan kualitas yang sama baik dari sisi integritas, kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme personal. Kesepuluh calon mestinya mereka yang terbaik dan tidak setengah hati dalam memandang korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa yang mempunyai daya rusak sistematis dan masif, bukan malah meremehkan instrumen penanggulangan korupsi hanya soal ideologi saja yang tidak mengikat siapapun.

 

Menakar Penanggulangan Korupsi

Menurut hemat saya, modal utama seorang pimpinan lembaga antirasuah adalah memiliki perspektif yang paripurna tentang korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) atau korupsi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) serta punya tekad kuat untuk menggunakan segala perangkat hukum, kebijakan, dan mampu bersinergi dengan gerakan massa dari berbagai lini masyarakat untuk menanggulangi korupsi. Semangat ini pula yang seyogianya melandasi kinerja Pansel.

 

Negara Indonesia sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Spirit di balik perangkat aturan seperti UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002, tidak lepas dari semangat pemberantasan korupsi secara internasional. Untuk itu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa (Artidjo Alkostar, 2013: 1-2).

 

Secara faktual memang pasca diberlakukan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) berdasarkan Resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, mayoritas negara di dunia mengadopsi norma UNCAC dalam aturan nasionalnya. Hingga kini kurang lebih 186 negara termasuk Indonesia telah menjadi Negara Pihak dalam UNCAC.

 

Indonesia meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Dalam perspektif hukum perjanjian internasional, konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditandatangani, selama materi dan substansi dalam perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional (Joenadi Effendi, dkk, 2009: 350).

Tags:

Berita Terkait