Membumi Atau Tidak-Kah, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia?
Oleh HMBC Rikrik Rizkiyana*)

Membumi Atau Tidak-Kah, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia?

Disinyalir, ada beberapa akademisi maupun praktisi hukum yang mempertanyakan efektivitas dari hukum persaingan usaha di Indonesia. Bahkan, belum lama ini ada seorang profesor hukum Indonesia yang dengan sangat naif menyatakan bahwa hukum persaingan usaha khususnya UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) sebagai suatu produk hukum impor, yang pelaksanaannya hanya jadi bahan tertawaan banyak pihak.

Bacaan 2 Menit
Membumi Atau Tidak-Kah, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia?
Hukumonline

 

Secara ringkas dapat dijelaskan (Agus Brotosusilo & Winarno Yudo, 1993), bahwa komponen substansial dari sistem hukum adalah hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata ini dapat berwujud hukum in concreto (kaidah hukum individual) maupun hukum in abstracto (kaidah hukum umum).

 

In concreto adalah keputusan-keputusan dalam kasus sedangkan in abstracto adalah hukum yang berkaitan dengan aturan-aturan hukum baik yang berupa undang-undang atau bentuk lainnya. Sedangkan komponen struktural adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Hal ini terkait dengan eksistensi seperangkat kelembagaan (institusi) dalam hal penerapan hukum di suatu komunitas.

 

Sementara, budaya hukum (legal culture) adalah sebagai keseluruhan nilai-nilai sosial yang dianut di tengah masyarakat dan berhubungan dengan hukum beserta sikap-sikap yang mempengaruhi hukum.

 

Sehingga dapat dikatakan, bahwa suatu sistem hukum tidak akan dapat diterapkan di dalam masyarakat hukum (legal society) secara baik apabila salah satu di antara ketiga komponen tersebut kondisinya tidak mendukung.

 

Lalu, bagaimana dengan kondisi sistem hukum persaingan usaha di Indonesia? Jika kita ibaratkan tesis di atas sebagai pisau analisis maka mari kita gunakan itu untuk membedah kondisi sistem hukum persaingan usaha tersebut.

 

Dalam hal substansi, secara obyektif dapat dikatakan UU No.5/1999 sebagai bagian dari komponen substansi, memang belum sempurna. Hal ini diakui pula oleh para pihak yang terlibat dalam penyusunan undang-undang ini. Oleh karenanya, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap undang-undang tersebut di masa datang.

 

Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebagai salah satu bagian dari komponen struktural, merupakan lembaga yang baru didirikan pada tahun 1999 (keanggotaan komisinya baru diangkat tahun 2000). Terlepas dari penilaian berbagai pihak atas kinerjanya, secara obyektif, perlu diakui bahwa KPPU sebagai lembaga yang baru telah berusaha mengemban amanat UU No.5/1999 melalui berbagai kegiatan. Termasuk penanganan perkara dan penyampaian saran serta pertimbangan ke Pemerintah.

 

Sebagai catatan, sejak berdiri hingga saat ini, KPPU telah melahirkan 10 putusan terhadap perkara dugaan pelanggaran UU No. 5/1999. Bandingkan dengan Japan Fair Trade Commission (JFTC) yang dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sejak berdiri, tidak memutus satu pun perkara.    

 

Oleh karenanya, perihal kondisi komponen substansi dan komponen struktural dari sistem hukum persaingan usaha di Indonesia saat ini, secara obyektif dapat disimpulkan, belum tercapai suatu kondisi ideal yang diharapkan. Dan untuk mencapai itu, realistis saja, tentunya dibutuhkan waktu dan upaya yang berkesinambungan.

 

Bagi negara-negara seperti Amerika, Jepang, dan Jerman saja, untuk sampai pada kondisi sistem hukum persaingan usaha yang seperti sekarang dibutuhkan waktu puluhan tahun.  Namun, sebagai kelengkapan sebuah sistem hukum, maka eksistensi UU No. 5/1999 dan KPPU telah menjadi faktor yang melengkapi awal pembangunan sistem hukum persaingan usaha di Indonesia.

 

Lalu, bagaimana dengan komponen budaya hukum persaingan usaha di Indonesia? Atau pertanyaan lebih fokusnya adalah apakah budaya hukum dari masyarakat Indonesia mendukung terciptanya dan efektifnya sistem hukum persaingan usaha di Indonesia? 

 

Jika kita ingat-ingat ajaran dari guru-guru sosiologi kita, sering disampaikan bahwa akar budaya bangsa kita berbasis secara dominan kepada nilai-nilai kehidupan komunalisme ketimbang individualisme. Salah satu ciri khas dari nilai komunalisme adalah kurang diakuinya kepemilikan individual atas sesuatu property tertentu. Hampir semua property dianggap milik komunitas (bersama) atau minimal ditujukan sebesar-besarnya untuk kepentingan komunitas.

 

Jika terdapat suatu property yang terabaikan oleh satu individu maka komunitas dapat saja mengambil alih dan memberikan kepada anggotanya yang dapat memanfaatkannya. Dari dominannya nilai komunalisme saja, secara logika budaya dapat dikatakan bahwa sejak lama bangsa kita mengharamkan adanya monopolisasi atas suatu property oleh individu.

 

Nilai-nilai seperti komunalisme inilah yang kemudian mewarnai sebagian besar hukum adat bangsa ini. Sementara nilai-nilai individualisme justru terimpor dari Belanda sebagai salah satu negara yang menganut civil law. Infiltrasi budaya hukum yang terjadi melalui berbagai produk peraturan perundang-undangan Belanda yang sampai saat ini sebagian besar masih dipertahankan termasuk produk hukum yang mengatur perbuatan curang, Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

 

Sejarah mencatat, bahwa di Indonesia, bahaya akan adanya praktek monopolisasi yang merugikan masyarakat, sebenarnya sudah mulai disadari pada abad 17. Di tahun 1676, seorang ahli hukum yang terkenal di Sulawesi Selatan yang bernama La Patello Amanna Gappa. Pada waktu dilantik menjadi Matoa Kampung Wajo III, ia menasihati kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan agar tidak mempraktekkan perdagangan monopoli. Sebagaimana praktek yang dilakukan pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, India dan lain-lain. (Baharudin Lopa, 1997). 

 

Peringatan ahli hukum pribumi ini disampaikan tidak lebih dari 10 tahun dari peringatan seorang merkantilis, Johan Joachim Becher, yang dalam bukunya Political Dis course (1667) membagi tiga bentuk kejahatan besar dalam ekonomi-politik yaitu; monopolium, poly polium, dan propolium. (Tommy F. Awuy, 1997).

 

Sementara itu, dari perspektif perkembangan budaya usaha di Indonesia, adalah suatu pendapat yang naif bila dikatakan bahwa tidak ada infiltrasi budaya usaha dari negara-negara lainnya termasuk negara yang menganut common law.  Kebanyakan praktek usaha termasuk model-model perjanjian yang dilakukan antar pelaku usaha baik pelaku usaha lokal maupun multi-national company di Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh praktek di negara lain terutama Amerika.

 

Hal ini bisa dimaklumi karena sebagai investor, pelaku-pelaku usaha dari negara lain berusaha untuk mencapai legal certainty dan legal security bagi investasi mereka dalam perspektif praktek bisnis yang biasa (common practice) mereka lakukan. Bahkan disinyalir, kebanyakan praktek usaha yang unfair yang terjadi di Indonesia juga termasuk yang diimport dari negara-negara tersebut, yang di banyak kasus, sebenarnya, praktek-praktek tersebut telah dilarang di negara asalnya.

 

Sehingga, dengan kondisi sistem hukum persaingan usaha  sebelum UUNo.5/1999,  Indonesia menjadi salah satu negara yang merupakan surga bagi praktek-praktek usaha unfair. Melihat kondisi tersebut, adalah suatu yang wajar bila kemudian dibutuhkan suatu piranti hukum persaingan usaha yang dapat mengakomodasi perkembangan praktek dan budaya usaha di Indonesia.

 

Marilah kita berpikir obyektif, bahwa sebelum adanya UU No. 5 / 1999, dengan hanya mengandalkan pengaturan tentang perbuatan curang dalam KUHP, dapatkah kita menghukum pelaku usaha yang misalnya melakukan penyalahgunaan posisi dominan melalui tindakan integrasi vertikal?Lalu bagaimana dengan tindakan-tindakan anti persaingan lainnya seperti alokasi pasar, penetapan harga (price fixing), perjanjian tertutup, predatory pricing, atau bahkan kartel?

 

Penulis ragu apakah KUHP dapat menjangkau praktek-praktek usaha tersebut. Oleh karenanya, terlepas dari kekurangan dari UU No. 5 / 1999, maka undang-undang ini telah mengisi kekosongan hukum di bidang persaingan usaha di Indonesia.

 

Dengan pemaparan di atas, silakan para pembaca yang budiman menilai apakah hukum persaingan usaha membumi atau tidak di Indonesia? Atau lebih jauh lagi pertanyaannya adalah, apakah Indonesia dengan kondisi praktek dan budaya usaha yang ada membutuhkan UU No. 5/1999 atau tidak? Lalu apakah piranti pengaturan yang ada minus UU No.5 /1999 dapat menjangkau perilaku anti persaingan pelaku usaha di Indonesia?

 

Dengan terjawabnya pertanyaan-pertanyaan di atas mudah-mudahan kita tidak menjadi bangsa yang sempit dalam berpikir (closed minded) untuk kemajuan sistem hukum nasional terutama di bidang ekonomi. Dan perlu diingat, bahwa kegiatan ekonomi khususnya bisnis tidak mengenal batas-batas negara di mana nilai-nilai budaya usaha lokal menjadi sangat kabur, sehingga jika kita salah dalam menyikapi fenomena ini, maka niscaya perekonomian nasional kita akan terus terpuruk dalam krisis berkepanjangan. 

 

*)Kepala Subdirektorat Penanganan Perkara Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI

 

Tentunya, ini sangat ironis apabila dilihat dari perspektif di mana kita sedang membangun sistem hukum nasional. Mengingat sistem kita yang sangat jauh tertinggal, terutama di bidang hukum ekonomi dan kegiatan-kegiatan usaha. Ketertinggalan yang terbukti hanya menghasilkan krisis ekonomi yang berkepanjangan akibat fundamental ekonomi yang rapuh dan tidak ditopang oleh pilar sistem hukum ekonomi nasional yang kuat.

 

Sistem hukum ekonomi yang seharusnya dapat mendukung terciptanya distribusi sumber-sumber daya ekonomi yang adil dalam kerangka persaingan usaha yang fair. Masih sangat lekat di ingatan kita bahwa karena tidak terdistribusinya sumber-sumber daya ekonomi secara adil dan merata, maka sumber tersebut hanya terkonsentrasi kepada segelintir pelaku usaha. Sehingga, ketika segelintir pelaku usaha tersebut terlanda masalah moneter, maka dampaknya terhadap perekonomian nasional menjadi sangat massive.

 

Jadilah, perekonomian Indonesia terjerembab dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1997. Setelah terjadinya krisis tersebut, lagi-lagi kalangan hukum yang menjadi cercaan karena tidak pernah berhasil menciptakan sistem hukum ekonomi nasional, termasuk sistem hukum persaingan usaha yang dapat mengimbangi fenomena ekonomi dan kegiatan usaha.

 

Lawrence M. Friedman (1984) menyampaikan suatu tesis, bahwa suatu sistem hukum yang baik adalah sistem hukum di mana terdapat keterpaduan di antara komponen-komponen yang melingkupinya. Komponen-komponen tersebut adalah komponen substansial, komponen struktural, dan komponen budaya hukum (legal culture).

Tags: