Memaknai 'Suara Sah' dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024
Kolom

Memaknai 'Suara Sah' dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024

Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan MK No. 60 jelas sangat menghargai suara warga negara dalam pemilihan umum sebagai hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikesampingkan hanya karena alasan punya kursi atau tidak punya kursi di DPRD. Hal ini logis bila dibandingkan dengan calon kepala daerah dari jalur perseorangan/independen juga tidak ada urusan dengan kursi di DPRD.

Bacaan 6 Menit
Didik Sasono Setyadi. Foto: RES
Didik Sasono Setyadi. Foto: RES

Reaksi publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024 (selanjutnya yang akan dibahas disini adalah Putusan No. 60 saja) gaungnya masih nyaring sampai hari ini. Meskipun Wakil Ketua DPR yang berasal dari Partai Koalisi KIM (Sufmi Dasco Ahmad) menyatakan bahwa DPR membatalkan revisi Undang-undang Pilkada karena sidang tidak mencapai quorum.

Reaksi publik yang berlanjut ini wajar mengingat isi pernyataan Sufmi Dasco tersebut hanya berintikan persoalan prosedural yaitu sah/tidaknya sidang akibat tidak terpenuhinya syarat dalam tata cara pengambilan keputusan. Namun tidak pada substansi perihal “apa  yang akan sesungguhnya dibahas dan diputuskan dalam sidang”. Publik pun patut menduga-duga dan curiga bahwa hal yang akan diputuskan dalam sidang yang dibikin ala tahu bulat atau sambal yang “dadakan” itu niatnya adalah untuk menolak putusan MK Nomor 60 tersebut. Bahasa Betawinya “emangnya ada alasan lain untuk melakukan sidang terburu-buru itu selain hendak ingin menyimpangi kedua putusan MK tersebut?”  

Baca Juga:

Barangkali mereka-mereka yang menginginkan pengingkaran terhadap putusan MK tersebut tidak sadar atau pura-pura pingsan, sehingga “hilang ingatan” dan lupa bahwa kedua putusan MK telah melalui proses yang tidak sederhana. Suatu perkara itu layak diadili oleh MK diawali dengan penilaian apakah pemohonnya memiliki kapasitas/legal standing untuk berperkara yaitu dengan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan tentang ada/tidaknya “Kerugian Konstitusional” yang diderita oleh para pemohon.

Dalam perkara Nomor 60 misalnya, sangat jelas sekali bahwa Partai Buruh dan Partai Gelora merasa hak-hak konstitusionalnya sebagai partai politik yang sah untuk ikut berkontestasi mengusung calon kepala daerah telah dikebiri/dibatasi oleh UU Pilkada. Padahal terlepas dari berapapun suara yang mereka peroleh dalam pemilu tetap saja suara itu adalah suara warga negara, suara rakyat.

Karenanya, jelas sekali mereka memiliki kapasitas untuk memohon uji materil undang-undang yang telah merugikan hak-hak konstitusional (pemilih) mereka. Bandingkan saja dengan partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR Pusat pun punya hak konstitusional diangkat jadi Wakil Menteri, bahkan Menteri. Begitu juga dengan calon independen yang hanya perlu mengumpulkan KTP saja (dengan jumlah minimal tertentu) juga bisa maju dalam kontestasi Pilkada 2024.

Selanjutnya, setelah lolos dari pemeriksaan awal yang umumnya disertai dengan perbaikan, kelengkapan bukti-bukti dan lain-lain lantas dilanjutkan ke sidang-sidang yang substansial masuk materi permohonan. Pada sidang-sidang inilah akhirnya hakim-hakim merumuskan “Ratio Decidendi” putusan. Ratio Decidendi putusan MK selalu sarat dengan kajian yang komprehensif karena diperkuat dengan Teori, Azas/Prinsip, Kajian Filosofi yang dalam. Apalagi perkara ini menyangkut persoalan demokrasi, yang sumber-sumber kajian/referensinya melimpah ruah untuk menguji pasal-pasal yang dimohonkan oleh pemohon.

Tags:

Berita Terkait