Memaknai 'Suara Sah' dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024
Kolom

Memaknai 'Suara Sah' dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024

Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan MK No. 60 jelas sangat menghargai suara warga negara dalam pemilihan umum sebagai hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikesampingkan hanya karena alasan punya kursi atau tidak punya kursi di DPRD. Hal ini logis bila dibandingkan dengan calon kepala daerah dari jalur perseorangan/independen juga tidak ada urusan dengan kursi di DPRD.

Bacaan 6 Menit

Kajian-kajian ini disebut proses Penalaran Hukum atau sering disebut dengan Legal Reasoning.  William Zelermyer Profesor Hukum dari Syracuse University, Anggota dari New York Bar dalam bukunya berjudul Legal Reasoning menuliskan The EvolutionaryProcess of Law:“Reasoning is a process of thought aimed at reaching or justifying aconclusion. The process involves a consideration of facts and impressions,experiences and principles, objectives and ideals.”

Berikut ini sebagian dari legal reasoning yang tertulis dalam pertimbangan Putusan Nomor 60: Bahwa adanya pengaturan demikian (pembatasan yang boleh mengusung calon kepala daerah), jelas membatasi pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu, tetapi tidak memiliki kursi di DPRD. Hal ini mengurangi nilai pemilihan kepala daerah yang demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Sebab, suara sah hasil pemilu menjadi hilang karena tidak dapat digunakan oleh partai politik untuk menyalurkan aspirasinya memperjuangkan hak-haknya melalui bakal calon kepala daerah yang akan diusungnya.

Padahal, Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis tersebut, salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon, sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal. Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat.

Terlebih, sejak diundangkannya UU 1/2015 sampai dengan diubahnya dengan UU 10/2016 telah dibuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dapat menjadi peserta pemilihan kepala daerah [vide Pasal 39 huruf b UU 10/2016]. Lebih dari itu, diaturnya kembali Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah dengan esensi yang jelas sama dengan yang diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya, norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Menurut hemat Penulis, pertimbangan ini jelas sangat menghargai suara warga negara dalam pemilihan umum sebagai hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikesampingkan hanya karena alasan punya kursi atau tidak punya kursi di DPRD. Bagi hakim konstitusi yang penting suara itu sah. Hal ini logis bila dibandingkan dengan calon kepala daerah dari jalur perseorangan/independen juga tidak ada urusan dengan kursi di DPRD.

Pertimbangan hakim-hakim MK ini sangat relevan dengan kondisi sosiologis yang terjadi akhir-akhir ini akibat berbagai manuver politik yang dilakukan oleh para elit politik yang mengarah pada penguatan oligarki kekuasaan dimana terjadi kecenderungan pemilu dengan “calon tunggal” dari koalisi besar, melawan kotak kosong atau “calon jadi-jadian” (calon asal-asalan), dengan menyingkirkan calon-calon yang memiliki potensi dan elektabilitas tinggi, tetapi tidak masuk dalam gerbong oligarki.    

Tapi, memang terdapat Concurring Opinion dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh terhadap Putusan No. 60 yang menyebutkan secara tidak langsung para pemohon mendorong Mahkamah menjadi positive legislator karena Mahkamah tidak bisa tidak, harus merumuskan kembali norma Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2016 secara keseluruhan. Setidaknya merumuskan ulang norma Pasal 40 ayat (1) sampai dengan ayat (3) terkait dengan pencalonan kepala daerah. Menurut saya ini adalah wajar agar terjadi konsistensi pengaturan yang lebih sesuai dengan amanah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Tags:

Berita Terkait