Memaknai 'Suara Sah' dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024
Kolom

Memaknai 'Suara Sah' dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024

Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan MK No. 60 jelas sangat menghargai suara warga negara dalam pemilihan umum sebagai hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikesampingkan hanya karena alasan punya kursi atau tidak punya kursi di DPRD. Hal ini logis bila dibandingkan dengan calon kepala daerah dari jalur perseorangan/independen juga tidak ada urusan dengan kursi di DPRD.

Bacaan 6 Menit

Terdapat juga Dissenting Opinion dari Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah yang menyatakan norma a quo yang dimohonkan pengujian para pemohon. Menurut Guntur “ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Dalam Pasal 40 ayat (3) UU a quo merupakan aturan yang dibuat pembentuk undang-undang untuk memberikan rambu-rambu pencalonan kepala daerah agar kompetisi antara calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik berlangsung kompetitif dan guna mendapatkan calon pemimpin daerah yang terbaik dalam koridor demokrasi.  

Karena itu, norma a quo tidak dapat begitu saja dinilai bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) karena selain tidak diatur secara eksplisit dan implisit di dalam konstitusi, juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi, keadilan, dan prinsip demokrasi. Bahkan, dengan adanya norma a quo akan menambah daya lentur (flexibility) pemaknaan dari kata “demokratis”

Menurut Legal Information Institute Cornell University, “concurring opinion” atau disebut juga “concurring reason” adalah “an opinion issued by one or morejudges which agrees with the decision reached by the majority of court, but offersadditional or different reasons for reaching that decision,” sehingga maknanya Hakim yang menyampaikan alasan berbeda (concurring) harus dimaknai setuju (agree) terhadap mayoritas. Sedangkan hakim yang membuat dissenting opinion dianggap tidak setuju karena memiliki pendapat yang berbeda

Terlepas dari adanya concurring opinion dan dissenting opinion, Putusan No. 60 ini sah dan memiliki sifat final and binding (tidak ada upaya hukum lain lagi untuk membatalkan), Erga Omnes (mengikat kepada siapapun tanpa terkecuali), serta Self Executing (tidak perlu menunggu revisi undang-undang untuk memberlakukannya), lantas untuk apa sebenarnya yang mendorong DPR harus tergesa-gesa melakukan sidang yang diduga akan “melawan” putusan MK ini?   

Bila hal ini terus dipaksakan, maka etika politik dan penghormatan mereka terhadap negara hukum ada dimana? Apalagi mereka harusnya sadar biaya sidang-sidang yang sia-sia ini, kemudian biaya pengamanannya, pasti tidak sedikit, padahal sudah pasti biaya-biaya itu  diambilkan dari uang rakyat. Belum lagi soal risiko adanya bentrokan aparat dengan rakyat sipil, semua hanya semakin memperberat beban hidup rakyat saja.

Semoga tulisan ini bisa mengetuk nurani culas oligarki yang rakus kuasa agar kembali hormati demokrasi, konstitusi, dan hak-hak warga negara. 

 

*) Didik Sasono Setyadi, Penulis adalah Alumni Program Doktor Ilmu Pemerintahan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan Lulusan “Cum Laude” dari Program Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga

Tags:

Berita Terkait