Melawan Mitos Publikasi Ilmiah, Refleksi dari Jurnal Ilmiah Bidang Hukum (Bagian Pertama)
Kolom

Melawan Mitos Publikasi Ilmiah, Refleksi dari Jurnal Ilmiah Bidang Hukum (Bagian Pertama)

Tulisan ini bermaksud membongkar sejumlah mitos terkait publikasi ilmiah dalam bidang ilmu hukum, sekaligus juga menawarkan pandangan alternatifnya.

Bacaan 8 Menit

Salah satu ciri penting dari jurnal yang kredibel adalah adanya proses review yang baik. Reviewer tidak akan mengetahui siapa penulis artikel yang sedang dinilai dan penulis tidak akan mengetahui siapa yang menjadi reviewer tulisannya (double blind review). Oleh karena itu, adanya seseorang atau institusi pendidikan yang menjamin terbitnya publikasi adalah tanda jurnal tersebut tidak kredibel. Makelar jurnal semacam ini hanya ada dalam jurnal predator.

Scopus akan memeriksa kredibilitas jurnal sehingga jurnal predator suatu saat nanti pasti keluar dari daftar indeksnya. Sialnya, proses ini akan memakan waktu. Saya sangat khawatir bahwa di Indonesia ini ada pihak yang selalu tahu jurnal predator mana yang masih terindeks Scopus. Pihak ini yang membuat praktik makelar jurnal terus hidup dan dianggap normal. Saya rasa sudah saatnya akademisi, yang selalu dituntut untuk bersikap jujur, menyatakan perang terhadap praktik tidak etis semacam ini.

Dari penjelasan di atas, saya utarakan argumen kedua sebagai berikut: “Jurnal internasional bidang hukum yang tidak kredibel akan meminta biaya publikasi, dan mengizinkan adanya perantara. Jurnal yang kredibel tidak akan memberikan jaminan sebuah artikel akan diterbitkan”.

Mitos 3: Menulis dalam Bahasa Inggris Lebih Baik

Beberapa waktu lalu seorang kolega membagikan power point tentang penilaian akreditasi jurnal di Indonesia. Di dalam paparan tersebut terdapat kriteria bahwa agar mendapat peringkat SINTA 1, sebuah jurnal harus berisi tulisan berbahasa PBB (baca: bahasa Inggris). Rupanya sampai kapan pun, sebagus apa pun, jurnal yang berbahasa Indonesia tidak akan pernah memperoleh peringkat SINTA 1. Lebih jauh lagi, saya mendapat informasi dari kolega bahwa pejabat Dikti menyatakan bahwa isi jurnal yang hanya berbahasa Indonesia, sebaik apa pun jurnal itu, hanya dapat memperoleh peringkat SINTA 3.

Selain paparan itu, saya juga memperhatikan adanya perpindahan bahasa dalam beberapa jurnal hukum di Indonesia. Beberapa jurnal yang telah terakreditasi SINTA 2 segera mengubah bahasanya menjadi bahasa Inggris. Mungkin tujuannya untuk mendapatkan peringkat SINTA 1 atau bahkan terindeks pada sistem Scopus. Praktik ini bahkan terjadi pula pada jurnal hukum yang diterbitkan oleh lembaga negara, termasuk lembaga peradilan.

Penjelasan di atas memperlihatkan adanya kecenderungan yang mengkhawatirkan bahwa jurnal berbahasa asing dinilai lebih tinggi dari jurnal berbahasa Indonesia. Hal ini sangat tidak tepat, setidaknya dalam konteks jurnal hukum. Jika kabar di atas benar, alangkah menyedihkannya bahasa Indonesia. Bahkan kementerian yang mengurusi pendidikan ternyata memandang rendah bahasa Indonesia!

Kelayakan sebuah tulisan dan jurnal diukur oleh substansinya, bukan oleh bahasa yang digunakan. Lebih jauh lagi, akademisi hukum Indonesia tidak boleh melupakan betapa pentingnya menulis dalam tulisan berbahasa Indonesia. Dengan cara inilah kita dapat berharap tulisan kita akan memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum di Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait