Melawan Mitos Publikasi Ilmiah, Refleksi dari Jurnal Ilmiah Bidang Hukum (Bagian Pertama)
Kolom

Melawan Mitos Publikasi Ilmiah, Refleksi dari Jurnal Ilmiah Bidang Hukum (Bagian Pertama)

Tulisan ini bermaksud membongkar sejumlah mitos terkait publikasi ilmiah dalam bidang ilmu hukum, sekaligus juga menawarkan pandangan alternatifnya.

Bacaan 8 Menit

Di sisi lain, indeks Scopus ternyata tidak kebal terhadap jurnal-jurnal predator. Banyak jurnal yang sebelumnya terindeks pada sistem Scopus kemudian tidak berlanjut pada tahun tertentu. Tidak cepatnya sistem Scopus—mungkin juga pejabat di Dikti—dalam mendeteksi jurnal predator ini semakin menyuburkan praktik publikasi yang tidak etis di Indonesia. Sangat sering akademisi kita menjadi sorotan karena banyaknya publikasi pada jurnal-jurnal predator. Beberapa di antara jurnal predator itu sempat, bahkan masih, terindeks Scopus.

Tulisan ini meyakini bahwa ukuran dan kebiasaan yang dipakai antara satu bidang ilmu dapat sangat berbeda dengan ilmu lainnya. Oleh karena itu, para akademisi hukum selayaknya diberikan kebebasan untuk menentukan ukuran tersendiri soal publikasi internasional. Kita sanggup melakukan itu! Misalnya dengan menjadikan pembahasan jurnal internasional sebagai agenda khusus di berbagai pertemuan tahunan fakultas hukum atau asosiasi dosen bidang hukum tertentu. Berdasarkan standar tertentu, pertemuan itu dapat menghasilkan daftar jurnal internasional yang layak untuk menerbitkan publikasi ilmiah. Tidak hanya akan mencegah peluang jurnal predator, tetapi juga akan menjaga kualitas jurnal kita. Tidak perlu ada kekhawatiran mengenai penjajahan dari negara lain atau ekspansi dari ilmu lain.

Penjelasan di atas mengantarkan tulisan ini pada argumen pertamanya: “Meskipun Scopus atau WoS bukanlah bentuk imperialisme intelektual dari negara Barat, akademisi hukum sepatutnya tetap diberikan ruang untuk menentukan sendiri ukuran kelayakan jurnal internasional bidang hukum”.

Mitos 2: Publikasi Jurnal Berbayar adalah Normal

Dalam sebuah tulisan di media massa daring(22 Februari 2020), seorang dosen menulis: “[b] ahwa scopus juga berbiaya tinggi, akses publikasinya pun rumit, dan butuh waktu lama. Lalu, timbul keresahan di sebagian besar dosen atau peneliti. Karena harus merogoh kocek besar agar bisa karya ilmiahnya terindeks Scopus. Jadi sulit naik pangkat. Itulah bukti, Scopus telah menjajah dosen dan kampus di Indonesia.”

Kutipan ini menunjukkan pandangan yang sering didengungkan di Indonesia bahwa jurnal ilmiah, termasuk jurnal yang terindeks Scopus, memungut biaya (publication fee) yang cukup tinggi. Membayar untuk publikasi pada jurnal ilmiah tampaknya menjadi hal yang normal.

Pandangan tersebut sangat tidak tepat, terutama jika dilihat dari bidang hukum. Mayoritas jurnal hukum bereputasi internasional yang diterbitkan di luar negeri, termasuk yang terindeks Scopus, justru tidak memungut biaya sepeser pun. Sebelum publikasi, memang jurnal akan menawarkan apakah penulis akan membeli copyright tulisan sehingga tulisan menjadi open access. Tetapi ini adalah pilihan, bukan kewajiban. Bahkan jika penulis memilih untuk tidak menjadikan tulisannya open access, penulis akan diberikan copy artikelnya. Lagi pula, meskipun tulisan tersebut tidak open access, artikel yang bereputasi biasanya tetap dapat diakses melalui pangkalan data jurnal semacam HeinOnline, Westlaw, atau LexisNexis. Tidak ada alasan bagi kita untuk mengeluarkan uang untuk biaya publikasi.

Bagi saya, ketika sebuah jurnal internasional bidang hukum meminta biaya publikasi, atau memaksa agar tulisan menjadi open access dengan minta biaya, maka saya akan langsung mencurigai kredibilitasnya. Meskipun tidak semua jurnal yang meminta biaya pasti tidak kredibel, tetapi semua jurnal predator pasti akan memungut biaya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait