Master Settlement and Acquisition and Agreement II
Kolom

Master Settlement and Acquisition and Agreement II

Atas desakan berbagai kalangan, termasuk DPR, pemerintah belakangan ini telah meminta konsultan hukum (KH) Kartini Mulyadi dan F. Tumbuan, untuk memberikan kajian (legal opinion) terhadap MSAA. Komentar secara singkat mengenai beberapa inti tanggapan yang dikemukakan oleh kedua konsultan hukum tersebut seperti di bawah ini.

Bacaan 2 Menit

5.         KH berpendapat bahwa Shareholders sadar bahwa pilihan cara pembayaran kewajiban dengan assets apabila di kemudian hari ternyata tidak cukup untuk melunasi Affiliated Loans adalah sepenuhnya menjadi risiko dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Shareholders sendiri. Klausula MSAA yang menyatakan tentang pembayaran lunas Affiliated Loans oleh Shareholders perlu direvisi, sehingga Shareholders tetap bertanggungjawab atas kekurangan tersebut sebagai utang mereka pribadi.

Komentar:

a.         Pendapat ini tidak menghargai apa yang disebut sebagai "deal" dalam suatu transaksi. Dalam suatu transaksi apabila sudah terjadi "deal", maka resiko ada pada masing-masing pihak yang melakukan perjanjian. Sehingga misalnya dalam pembelian barang, apabila barang sudah diserahkan oleh penjual maka menurut KUHPerdata resiko atas kemusnahan barang/penurunan nilai adalah pada pihak yang menerima/pembeli. Dalam persoalan MSAA, kalau pihak Shareholders sudah menyerahkan aset berupa Acquisition Companies kepada pihak yang ditunjuk oleh BPPN sebagai bentuk pelunasan kewajiban berarti sudah terjadi "deal", sehingga resiko penurunan nilai selanjutnya ditanggung oleh BPPN. Persoalan siapa pihak yang ditunjuk oleh BPPN untuk menerima penyerahan Acquisition Shares adalah "out of context" karena BPPN bebas menunjuk siapapun untuk mewakili kepentingan BPPN.

b.       Kalau pendapat KH diikuti maka akan terjadi kejanggalan sebagaimana ilustrasi berikut:

Seorang (A) yang ingin membeli mobil dari cabang dealer (B) setelah terjadi kesepakatan harga diminta oleh dealer B tersebut untuk menyetor uang pembayaran ke kantor utamanya (C) dan setelah mendapatkan bukti setor diminta agar kembali kepada B untuk menyerahkan bukti setor tersebut sekaligus mengambil mobilnya. Dalam hal ini, apabila

(i).  Pembeli A sudah menyetor uangnya pada C dan mendapatkan bukti setor setelah itu terjadi kebakaran atau perampokan sehingga uang setoran A tadi musnah sebagian atau seluruhnya, maka menurut pendapat KH ini pembeli A harus menyetor ulang harga pembelian mobil tadi. It's not fair.

(ii).Berbeda halnya kalau pembeli A dalam perjalanan menyetor uang ke C dirampok di tengah jalan, sehingga uang yang sedianya akan disetorkan hilang. Dalam hal ini bukti setor yang diminta oleh B belum diperoleh A, sehingga dapat dipahami bahwa pembayaran belum dilakukan.Karena itu, sudah wajar kalau A diminta untuk menyetor kembali uang harga  pembelian mobil tadi.

B. Ide Revisi atau Pembatalan MSAA

Ide pembatalan MSAA/MRNA disuarakan oleh banyak kalangan karena terpicu oleh pendapat bahwa dengan adanya penurunan nilai aset yang diserahkan oleh PPS bank, pemerintah akan mengalami kerugian. Sehingga, diperdebatkan perlu tidaknya R & D dicabut atau MSAA/MRNA direvisi atau bahkan dibatalkan.

     Komentar

          Untuk PPS bank yang telah deal dengan BPPN, yakni telah melakukan pembayaran tunai dan menyerahkan aset yang saat itu sebelum terjadi penyerahan telah dinilai oleh konsultan independen bahwa besarnya sama dengan kewajibannya yang harus dibayar, maka risiko penurunan aset tidak dapat lagi dibebankan secara sepihak kepada PPS bank, karena menjadi tidak adil. Asumsinya sepanjang PPS bank tidak melakukan mark up aset, melanggar disclosure, representation dan warranties dalam MSAA dan penilan asset oleh konsultan yang independen telah dilakukan dengan benar.

          Bahwa Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian mengusulkan perpanjangan jangka waktu pembayaran kewajiban kepada PPS bank dengan meminta PPS bank menambah aset yang diserahkan dan Personal Guarantee, akan efektif dan adil sepanjang disepakati oleh pihak lain (PPS bank) karena kesepakatan merupakan undang-undang bagi para pihak dalam perjanjian. Dengan kata lain, pemerintah tidak dapat memaksakan kehendaknya secara sepihak agar usulan tersebut diterima oleh PPS bank karena akan bertentangan dengan asas konsensus pada suatu perjanjian agar berlaku efektif dan mengikat para pihak.

          Pembatalan MSAA terkait dengan perbuatan hukum yang mendahului seperti pemberian BLBI oleh kepada bank (yang kemudian menjadi bank berstatus BTO dan BBO/BBKU), pengalihan tagihan BLBI kepada pemerintah, penerbitan obligasi oleh pemerintah dan penagihan BLBI oleh BPPN kepada PPS bank. Apabila MSAA dibatalkan, maka rangkaian perbuatan hukum sebelumnya tersebut akan dibalik dan hal tersebut sangat mustahil. Dan apabila mungkin dilakukan, maka biaya yang akan timbul sangat besar dan dampaknya akan terjadi tindakan yang tidak kita nginkan bersama. Misalnya BI, agar tidak menderita kerugian, terpaksa akan mendebet kembali tagihan BLBI pada bank-bank BTO sehingga program rekapitalisasi perbankan akan terganggu. BPPN/pemerintah bukan kreditor sehingga PPS bank akan menolak tagihan yang dilakukan pemerintah/BPPN karena dianggap tidak berhak dan apabila BI masih mengalami kerugian maka kerugian tersebut sesuai Undang-undang No.23 Tahun 1999 wajib ditutup oleh Pemerintah. Sehingga, akhirnya Pemerintah juga yang akan mengeluarkan dana, bahkan jauh lebih besar lagi dari tagihan berupa BLBI. Dan sudah pasti prosesnya akan memakan waktu yang sangat lama, sehingga konsekuensinya kepercayaan investor dalam maupun luar negeri akan menurun. Pada gilirannya, proses pemulihan ekonomi nasional yang akan diharapkan tidak dapat dicapai.

Tags: