Master Settlement and Acquisition and Agreement II
Kolom

Master Settlement and Acquisition and Agreement II

Atas desakan berbagai kalangan, termasuk DPR, pemerintah belakangan ini telah meminta konsultan hukum (KH) Kartini Mulyadi dan F. Tumbuan, untuk memberikan kajian (legal opinion) terhadap MSAA. Komentar secara singkat mengenai beberapa inti tanggapan yang dikemukakan oleh kedua konsultan hukum tersebut seperti di bawah ini.

Bacaan 2 Menit

Saran

1.  Untuk menjaga kepercayaan masyarakat nasional maupun internasional terhadap Pemerintah RI, sebaiknya pemerintah mengakui MSAA/MRNIA sebagai suatu perjanjian yang sah dan mengikat.

2.   Pemerintah sebaiknya mengumumkan PPS bank yang telah memenuhi kewajibannya kepada Pemrerintah bahwa statusnya telah dibebaskan dari kewajiban. Sebaliknya, PPS bank yang belum menyelesaikan kewajibannya agar segera diberi batas waktu untuk menyelesaikan kewajibannya. Dan apabila tidak dapat selesai sesuai waktu yang ditetapkan, maka pemerintah segera memulai proses hukum atas pelanggaran BMPK dan penyalahgunaan BLBI, baik secara perdata maupun pidana. Ketegasan ini diperlukan agar terdapat kepastian hukum dan pihak yang telah menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah dapat memulai lagi usaha baru dengan tenang. Salah satu prinsip dari "rule of law" adalah adanya kepastian hukum.

3.       Dengan menghormati prinsip "presumption of innocence"/praduga tak bersalah, maka tanpa kecuali barang siapa (termasuk di BI) yang terbukti melakukan tindak pidana baik atas perbuatan hukum yang merupakan rentetan peristiwa yang mendahului, berkaitan dan setelah terbitnya MSAA/MRNIA agar diproses melalui jalur hukum.

4.     Pemerintah segera mengakui jumlah BLBI dengan maksud untuk menjamin kedudukan pemerintah sebagai Kreditor atas BLBI. Kalau jumlah BLBI belum diakui, konsekuensinya adalah bahwa yang menjadi kreditor BLBI adalah masih BI. Karena itu, penagihan yang telah dan atau akan dilakukan Pemerintah/BPPN termasuk penyertaan modal pemerintah melalui konversi BLBI pada beberapa bank BTO dapat dipermasalahkan. Misalnya dapat diperhatikan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya "hal tertentu" yaitu sesuatu yang pasti, yang diperjanjikan. Perjanjian pengalihan BLBI adalah sah kalau jumlahnya yang dialihkan sudah pasti. Dengan kata lain apabila jumlah BLBI yang dialihkan belum ada kesepakatan, karena belum pasti, maka perjanjian itu adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat obyektif terjadinya suatu perjanjian. Dampaknya antara lain bahwa PPS bank dapat mempermasalahkan kewenangan pemerintah/BPPN untuk menagih kewajiban PPS bank atas BLBI karena pengalihan tagihan BLBI tersebut batal demi hukum.

 

Oey Hoey Tiong adalah Penasehat Hukum Eksekutif, Direktorat Hukum BI

 

Makalah ini adalah bagian II dari dua tulisan, disampaikan pada lokakarya Tinjauan Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan UU Bank Indonesia di Bogor pada 27-28 Februari 2002

2. Pengkajian MSAA untuk revisi atau pembatalan apakah tepat?

A. Pengkajian

1.     KH berpendapat bahwa BPPN melalui Acquisition Vehicle (AV) tidak mungkin dapat mengendalikan/mempengaruhi jalannya Acquisition Companies untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai perusahaan-perusahaan dimaksud. Sehingga apabila terjadi penurunan nilai aset, maka tidak masuk akal dan tidak patut/tidak adil apabila risiko penurunan nilai dimaksud harus ditanggung oleh BPPN. Sedangkan Para Pemegang Saham (PPS) bank, menurut MSAA tidak mempunyai tanggungjawab apapun atas akibat penurunan tersebut. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

     Komentar:

         Secara hipotetis dan konvensional pendapat tersebut benar dalam arti bagi suatu perusahaan kecil yang dimiliki oleh satu keluarga tentu peranan keluarga tersebut dalam menentukan arah perusahaan juga besar.

Tags: