Masih Bermasalah, Aliansi Tolak Rencana Pengesahan RKUHP
Utama

Masih Bermasalah, Aliansi Tolak Rencana Pengesahan RKUHP

Materi muatan RKUHP antara lain berpotensi membuka ruang kriminalisasi, diskriminasi, bertentangan dengan konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Asfin berpendapat pemerintah dan DPR harus mengacu asas legalitas yang sudah diatur dalam konstitusi. Pengaturan terhadap hukum yang hidup di masyarakat harus merujuk pada ketentuan yang diatur dalam konstitusi, bahwa hak legalitas merupakan salah satu hak dasar warga negara. Ketentuan ini akan membuka peluang terbitnya peraturan daerah (perda) yang diskriminatif dengan alasan hukum yang hidup di masyarakat.

 

Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menyayangkan RKUHP masih memuat ketentuan yang menjatuhkan pidana mati. Kendati ada upaya untuk memperketat pidana mati dan menawarkan pidana alternatif, tapi ini dinilai masih setengah hati. Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus diposisikan sebagai hak setiap orang yang diputus pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim. “Hukuman mati ini warisan hukum kolonial Belanda,” sebutnya.

 

Begitu pula dengan ketentuan pidana narkotika sebagaimana diatur Pasal 630-635 RKUHP. Ricky menilai diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP berarti pendekatan yang digunakan pidana, bukan kesehatan (rehabilitasi). Padahal secara internasional banyak negara melakukan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat. “RKUHP ini belum layak disahkan, masih banyak masalah. Akan menambah masalah overcrowding lapas karena makin banyak pasal (hukuman) pidana,” ujarnya.

 

Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menghitung sedikitnya ada 3 pasal kolonial dalam RKUHP. Pertama, Pasal 223 dan Pasal 224 RKUHP tentang penghinaan presiden. Ketentuan ini pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang tujuannya untuk melindungi ratu Belanda. Pasal ini sudah dibatalkan MK melalui putusan bernomor MK No.013-022/PUUIV/2006 karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

 

Kedua, Pasal 248-249 RKUHP yang mengatur penghinaan pemerintah yang sah. Nelson mencatat pasal ini sudah dibatalkan MK lewat putusan No.6/PUUV/2007. Ketentuan pidana dalam pasal ini dikenal sebagai haatzaai artikelen, yakni pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa. Pasal ini digunakan kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia sebagai pihak yang terjajah. Delik materil ketentuan ini tidak jelas karena definisi “menimbulkan keonaran” sangat karet dan tidak terukur.

 

“Hukum pidana mewajibkan kejelasan norma dalam pengaturannya (lex certa, lex scripta, dan lex stricta),” papar Nelson mengingatkan.

 

Ketiga, Pasal 367-368 RKUHP mengenai penghinaan kekuasaan umum/lembaga negara. Dia mengingatkan komentar umum kovenan hak sipol Komisi HAM PBB No.34 poin 38 menyebut pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan administrasi negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait