Masih Bermasalah, Aliansi Tolak Rencana Pengesahan RKUHP
Utama

Masih Bermasalah, Aliansi Tolak Rencana Pengesahan RKUHP

Materi muatan RKUHP antara lain berpotensi membuka ruang kriminalisasi, diskriminasi, bertentangan dengan konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Ketua Harian MaPPI FHUI Dio Ashar Wicaksana melihat tidak banyak yang berubah dalam RKUHP karena masih banyak pasal kolonial yang dipertahankan. Menurutnya, KUHP yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda tujuannya pemenjaraan dan penghukuman tanpa memperhatikan kepentingan korban. Tapi sekarang di Belanda arah KUHP sudah berubah bukan hanya mempidanakan pelaku tapi juga memperhatikan hak-hak dan pemulihan korban.

 

Dio melihat hal itu dalam Pasal 489 jo Pasal 491 RKUHP tentang kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan atau aborsi. Pengecualian ketentuan ini hanya untuk dokter yang melakukan aborsi. Ketentuan ini tidak memperhatikan perempuan korban perkosaan yang mengakibatkan dirinya hamil. “Pasal ini bertentangan dengan Pasal 75 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang intinya larangan aborsi, dikecualikan untuk kehamilan akibat perkosaan,” kata dia.

 

Kemudian terkait pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 624-626 RKUHP, Dio menilai RKUHP tidak mengadopsi pengaturan khusus Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor mengenai percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan pidana korupsi yang akan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana tindak pidana korupsi yang bersangkutan selesai dilakukan (delik penuh). Kemudian dalam RKUHP tidak ada pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

 

Peneliti Elsam Sekar Surowijoyo melihat ada persoalan dalam RKUHP terkait pengaturan pidana korporasi. Pasal 42 ayat (2) RKUHP secara tegas mengatur BUMN dan BUMD termasuk cakupan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Tapi Pasal 130-132 RKUHP, hukuman yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya denda. Apalagi denda yang dibayar BUMN/BUMD ini dapat berasal dari penyertaan modal negara.

 

“Bagaimana pengaturannya nanti? Dari uang negara kemudian masuk lagi ke negara,” kata Sekar.

 

Pasal 47 RKUHP, menurut Sekar mempersempit pertanggungjawaban korporasi dan ujungnya pasti menyulitkan penegak hukum. Pasal ini mengkategorikan perbuatan yang dapat diatribusikan kesalahannya sebagai kesalahan korporasi hanya yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Konsep ini sudah ditinggalkan karena tidak relevan. Praktiknya, kejahatan korporasi dilakukan bukan melalui pejabat struktural atau fungsional, tapi pegawai dibawahnya atau pihak ketiga untuk keuntungan perusahaan.

 

Selain itu, Sekar berpendapat ketentuan mengenai living law dalam RKUHP akan memunculkan ketidakpastian hukum. Padahal salah satu indikator yang digunakan investor sebelum berinvestasi di sebuah negara yakni kepastian hukum. “Bagaimana pranata hukum yang berlaku di masyarakat (hukum adat,-red) kemudian menjadi perangkat yang bisa mempidanakan orang?”

 

Deputi Koordinator KontraS Putri Kanesia menegaskan organisasinya sejak awal menolak pasal pelanggaran HAM berat dalam RKUHP. Ketentuan ini harus diatur dalam regulasi khusus seperti saat ini yakni UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tapi pemerintah tetap ngotot dan memuat kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP. Kemudian RKUHP tidak memuat asas retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM berat. Padahal ini penting untuk mengungkap pelanggaran HAM berat masa lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait