Kusumah Atmadja, Hakim Tiga Zaman
Edisi Khusus:

Kusumah Atmadja, Hakim Tiga Zaman

Di zaman Hindia Belanda, Kusumah Atmadja sudah malang melintang sebagai hakim di Landraad dan Raad Van Justitie. Di zaman Jepang, sempat menjabat Ketua Tihoo Hooin. Di era kemerdakaan, ia didaulat menjadi Ketua Mahkamah Agung pertama.

Ali/Sut/Mon
Bacaan 2 Menit

 

Profil singkat Kusumah Atmadja ini dapat ditemukan di buku Risalah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terbitan Sekretariat Negara. Maklum, Kusumah Atmadja memang salah satu anggota BPUPKI yang merumuskan dasar negara. 

 

Begitu kemerdekaan diraih, Kusumah Atmadja ditugasi membentuk Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ia pula akhirnya yang diserahi untuk memimpin lembaga yudikatif pertama setelah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Penegak Independensi Judisial

Kepemimpinan Kusumah Atmadja di MA bukan tanpa halangan. Di usia MA yang masih seumur jagung, Kusumah Atmadja harus bertarung untuk menegakan independensi lembaga yang dipimpinnya. Sebastian Pompe dalam disertasinya yang bertajuk The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, mencatat sebuah kasus penting dalam karier Kusumah Atmadja. Pompe mengutip data milik Daniel S Lev.

 

Yakni, kasus yang terkenal dengan sebutan Sudarsono Case. Pada 1946, terjadi usaha penculikan Perdana Menteri Sjahrir oleh sekelompok tentara yang dipimpin oleh Mayjen Sudarsono. Kelompok yang berencana melakukan kudeta ini adalah orang-orang dekat Presiden Soekarno, salah satunya adalah Muhammad Yamin. Tujuan penculikan agar negara Indonesia kembali ke sistem presidensiil.

 

Usaha penculikan itu gagal. Para pelakunya pun diadili di sidang Mahkamah Agung Tentara. Tersiar kabar Sukarno meminta agar MA agar bertindak lebih ‘lembut'. Kusumah Atmadja pun berang. Ia mengancam akan mengundurkan diri dari Ketua MA kecuali Sukarno mundur dari kasus tersebut. Ia pun menegaskan salah satu wujud independensi kekuasan kehakiman adalah bebas dari intervensi eksekutif. 

 

Tak hanya dari ‘dalam' negeri, Kusumah Atmadja juga harus menghadapi tantangan dari luar. Setelah menyerahnya Jepang, Belanda kembali berusaha menancapkan kakinya di bumi pertiwi. Lembaga Yudikatif pun terbelah. Masih dalam disertasi Pompe, kala itu banyak hakim senior asal pribumi yang menyebrang ke kubu Belanda.

 

Pada 1948, dari 23 hakim senior, hanya sembilan hakim yang tetap di Republik. Salah satunya adalah Kusumah Atmadja. Padahal, Guru Besar dari Universitas Gajah Mada ini juga sempat ditawari oleh Belanda untuk menjadi Wali Negara Pasundan. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah karena loyalitasnya kepada republik.

Tags: