Kisah Tragis Perempuan Terpidana Mati Penyelundup Narkotika
Fokus

Kisah Tragis Perempuan Terpidana Mati Penyelundup Narkotika

Terbuai impian dan tergoda rayuan, enam perempuan jatuh dalam pelukan jaringan mafia narkotika. Bukannya kekayaan yang digaet, para perempuan ini malah hidup nestapa. Kini, mereka hidup sengsara di bui dan telah divonis hukuman mati!

Rep
Bacaan 2 Menit

Nah, fenomena perdagangan perempuan terlihat dalam kisah tragis para perempuan yang berpeluang menjadi terpidana mati itu. Pertama, perekrutan perempuan dalam jaringan narkotika itu diawali dengan tipu daya dalam berbagai bentuk. Terutama, diciptakannya hubungan personal--pacaran, perkawinan, hidup bersama--antara perempuan sebagai korban dengan pemilik sesungguhnya.

Kedua, para perempuan itu diperintahkan untuk melakukan jenis pekerjaan yang berbahaya dan beresiko, tanpa diberitahu apa bahaya dan resiko pekerjaan itu. Mereka yang masuk perangkap pacaran atau perkawinan tidak mengetahui bahwa mereka bakal dijadikan pengedar narkotika oleh pasangannya, seperti dialami  oleh EYS dan Mut.

Ketiga, adanya unsur migrasi. Buktinya, semua terpidana mati kasus narkotika tertangkap di bandara. Keberadaan para perempuan itu menjadi salah satu mata rantai dari perdagangan perempuan. Keempat, adanya unsur eksploitasi berupa kekerasan, termasuk penyekapan dan ditiadakannya hak korban untuk bertanya.

Kelima, ada orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini, yaitu pengedar lapis atas dan bandar narkotika sesungguhnya.  Mereka dapat keuntungan besar, sedangkan para perempuan itu malah mendekam di penjara dan menunggu hukuman mati.

Tampaknya, perempuan yang menjadi terpidana kasus narkotika itu diumpankan sebagai perisai. Salah satu strategi jebakan adalah mendekati perempuan-permpuan muda, yang kemudian bergantung secara finansial. Sebagai kompensasi diajak jalan-jalan ke luar negeri, perempuan itu dikirim sebagai pembawa narkotika. Lalu, perempuan itu membawa narkotika dengan  barang khas perempuan, disempunyikan di balik BH, atau malah ditelan dalam perut.

Tidak berpihak pada perempuan

Menurut PKWJ, vonis terhadap terpidana kasus narkotika tidak berpihak kepada perempuan. "Padahal, pengalaman perempuan ini seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan berkaitan dengan posisi perempuan dalam kasus tersebut," cetus Sulistyowati. Karena pengabaian pengalaman perempuan dalam proses persidangan, para perempuan itu tidak mendapatkan akses pada keadilan.

PKWJ juga melihat bahwa dalam proses persidangan, hukum positif tidak dijalankan secara konsekuen. Pasal 51 huruf (a) KUHAP menyatakan, tersangka harus diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti atau diketahui tentang yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.

Namun, pada prakteknya NMS--yang cuma bisa berbahasa Thailand lokal--hanya didampingi penerjemah yang hanya bisa berbahasa Indonesia-Ingris. Ia mengaku tidak pernah bertemu dengan pengacaranya, kecuali dalam persidangan. Sementara BKA--yang juga tidak paham bahasa Indonesia--hanya diam ketika hakim menjatuhkan vonis mati. Setelah orang Kedutaan menerjemahkan, barulah BKA menangis.

Perempuan tersangka penyelundup narkotika dari WNA itu mengaku para pengacaranya tidak banyak menolongnya. Hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-Cuma disebutkan dalam Pasal 56 (2) KUHAP. Khususnya, tersangka yang disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari 15 tahun.

Namun, BKA mengaku penasehat hukum yang diberikan Mabes Polri tidak datang pada persidangan karena ia tidak mempunyai uang. Bahkan, Shn tidak didampingi penasehat hukum, dan hanya didampingi seorang penerjemah selama masa pemeriksaan. Rni malah membayar Rp10 juta utuk jasa pembela hukumnya, tapi pertemuan dengan pembela hukum tidak intensif.

Posisi perempuan tersangka pengedaran narkotika memang lemah. Bagi aparat penegak hukum, kiranya perlu direnungkan, apakah hukuman mati bagi perempuan yang sesungguhnya korban dan bukan penjahat sebenarnya, akan efektif sebagai hukuman penjera. "Kami akan mengirimkan hasil penelitian kami ke instansi terkait, termasuk ke presiden, untuk dijadikan pertimbangan," ujar Firliana Purwanti, peneliti PKWJ.

Tampaknya,  perlu dikaji apakah para perempuan itu memang menjadi bagian dari perdagangan perempuan. Masalahnya, apakah perempuan itu melakukan perintah atas dasar sukarela atau karena tekanan? Tidak mudah memang, karena ada kasus yang di daerah abu-abu (grey area). Dari penelitian PKWJ sendiri, ternyata ada  perempuan yang menjadi bagian dari mafia narkotika secara sukarela.

Namun, yang patut menjadi perhatian adalah modus operandi penggunaan perempuan dalam jaringan narkotika internasional. Perempuan mulai direkrut sebagai pembawa narkotika karena adanya stereotipe di masyarakat bahwa terkait dengan seksualitasnya, perempuan cenderung tidak dicurigai ketika membawa barang-barang illegal.

Jika tidak ingin ada perempuan lain yang dihukum mati gara-gara menjadi pengedar narkotika, kiranya perlu ada kampanye agar perempuan muda tidak mudah terjebak dalam jaringan narkotika. Tidak mustahil, perempuan yang tertangkap itu justru korban dan menjadi bagian dari mata rantai mafia narkotika internasional.

Selain itu, perlu ada kesadaran dari perempuan untuk tidak mudah begitu saja percaya kepada orang yang baru dikenalnya. Apalagi mimpi jadi kaya raya dengan menjadi penyelundup narkotika. Mau kaya ternyata cuma khayalan, eh akhirnya hidup di 'hotel prodeo'.

 

Tags: