Kewenangan Ditjen Pajak Makin Besar, KADIN Memprotes RUU Perpajakan
Berita

Kewenangan Ditjen Pajak Makin Besar, KADIN Memprotes RUU Perpajakan

‘Pilihannya sekarang adalah kita meminta Pemerintah untuk menunda atau kita berjuang di parlemen.'

CR-2
Bacaan 2 Menit
Kewenangan Ditjen Pajak Makin Besar, KADIN Memprotes RUU Perpajakan
Hukumonline

 

KADIN juga mendukung pendapat DPR bahwa RUU Perpajakan yang diajukan Pemerintah perlu dibahas bersama dengan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), cetus Hidayat.

 

Sementara, Sofjan Wanandi menjelaskan keanehan dalam RUU Perpajakan. Antara lain terlihat pada Pasal 2 ayat (4) huruf a dan b atau di Pasal 13 ayat (1) huruf b yang menyebabkan para WP yang hendak mengajukan permohonan NPWP langsung ditanya kenapa lima tahun sebelumnya belum membayar pajak.

 

Begitu banyak sanksi yang diberikan sehingga bagi pengusaha ini menakutkan, kata Sofjan.

 

Ditambahkannya, pada Pasal 4 ayat (2) dan (3) RUU Pajak Penghasilan disebutkan bahwa untuk hibah--meskipun dalam hubungan darah satu garis--baik penerima hibah maupun pemberi hibah harus membayar pajak.

 

Jadi, jika seorang anak mengirim orangtuanya ke Singapura untuk berobat atau orang tua yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri itu kena pajak. Di Jepang, hibah untuk satu garis hubungan darah tidak lagi kena pajak, papar Sofjan.

 

 

Kesetaraan wajib pajak dan petugas pajak

Hiroo Koshino menyatakan pihaknya mendukung langkah KADIN memberikan kepastian hukum dalam melindungi hak pembayar pajak. Ia berharap RUU Perpajakan bisa meningkatkan kepercayaan dunia usaha.

 

Wajib Pajak bukan hanya bayar pajak saja, ada banyak kewajiban dan tidak boleh salah. Terlalu banyak kewajiban, tukas Koshino.

 

Pada kesempatan yang sama Philip J Shah menyatakan, IBC mendukung usulan KADIN mereformasi RUU Perpajakan. Terutama, lanjut Shah, adanya kepastian hukum dan kesetaraan antara wajib pajak dan petugas pajak. Ia menambahkan Indonesia saat ini memberlakukan ekstensifikasi pajak, namun juga harus mempertimbangkan daya saing. Hal ini karena sebagian investor asing ragu karena dengan adanya ekstensifikasi menimbulkan persepsi biaya tinggi dan ketidakpastian.

 

Syarat sistem perpajakan yang berhasil adalah yang adil, sederhana, pasti dan kompetitif, kata Shah.

 

Kata dia, di negara lain tarif pajak lebih rendah yang terus mengalami penurunan dengan berbagai jenis insentif. Selain itu, negara lain hanya menerapkan pajak penghasilan atas penghasilan yang diperoleh di negeri itu saja dan bukan menerapkan pajak dari pendapatan di seluruh dunia. Hal ini membuat negara tersebut lebih menarik untuk tujuan investasi.

 

Disampaikan pula bahwa berdasarkan survey World Bank, sistem perpajakan Indonesia berada di posisi nomor dua terburuk di Asia dari segi jumlah jenis pajak yang dibayar (52 jenis), nomor tiga terburuk di Asia dari segi waktu yang digunakan untuk mengadministrasikan pajak (560 jam) dan nomor tiga terburuk di Asia dari segi tarif efektif (38,8 persen).

RUU Perpajakan belumlah mulai dibahas di DPR, namun kalangan pengusaha menilai RUU tersebut tidak business-friendly. Demikian terungkap dalam jumpa pers yang diselenggarakan Kamar Dagang Industri (KADIN) di Jakarta, Senin (17/10). Hadir dalam kesempatan tersebut Ketua KADIN MS Hidayat, Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) Sofjan Wanandi, Hiroo Koshino dari The Jakarta Japan Club Foundation, serta Philip J Shah dan Peter G Fanning dari International Business Chamber (IBC).

 

MS Hidayat menyatakan KADIN telah membahas RUU Perpajakan secara intensif dan memberikan usulan ke DPR untuk RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, RUU Pajak Penghasilan dan RUU Pertambahan Nilai. Namun, lanjutnya, usulan tersebut tidak dimasukkan dalam draf RUU yang dimasukkan ke DPR.

 

Pilihannya sekarang adalah kita meminta Pemerintah untuk menunda atau kita berjuang di parlemen, kata Hidayat.

 

Ia menekankan, dalam RUU Perpajakan yang diusulkan Pemerintah, kewenangan Ditjen Pajak makin besar. Ia menilai hal ini dapat digunakan oknum petugas pajak untuk melakukan pemerasan pada Wajib Pajak (WP).

 

Selain itu, lanjut Hidayat, rancangan dasar sistem perpajakan di Indonesia tidak lazim ditemui seperti sanksi pidana karena kealpaan, tidak jelasnya sanksi kepada petugas pajak yang melanggar hak-hak wajib pajak, pajak berganda atas dividen, perlakuan tidak tegas atas biaya promosi dan penjualan sebagai pengurang penghasilan serta perlakuan PPN yang diskriminatif terhadap pengusaha kena pajak yang belum berproduksi.

Tags: