Kewajiban dan Tanggung Jawab Hukum Akuntan Publik
Oleh: Ricardo Simanjuntak, SH, LLM, ANZIF, CIP *)

Kewajiban dan Tanggung Jawab Hukum Akuntan Publik

Walaupun seorang Akuntan Publik telah dikenai sanksi administrasi sebagai konsekuensi dari pelanggaran PMK No. 17/PMK.01/2008, namun tetap saja pertangungjawaban untuk mengganti kerugian pihak-pihak yang dirugikan akibat dari pelanggaran tersebut, dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berhak atas pemenuhan ganti rugi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata.

Bacaan 2 Menit

 

Sehubungan dengan kewajiban untuk mengganti kerugian sebagai akibat dari Perbuatan Melawan Hukum itu, maka langkah pemenuhan dari ganti kerugian tersebut berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata, mengatur sebagai berikut: Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal itu jelas mengatur bahwa harta pribadi dari pihak yang dihukum untuk membayar ganti rugi lah yang digunakan untuk membayar ganti kerugian akibat Perbuatan Melawan Hukum tersebut.

 

Sehubungan dengan tanggungjawab perdata tersebut, sangat perlu kiranya diperhatikan bentuk dari badan usaha suatu KAP. Berdasarkan pasal 16 PMK No.17/PMK.1/2008, sebuah KAP hanya dapat berbentuk Perseorangan  ataupun Persekutuan Perdata atau Persekutuan Firma. Mengingat badan usaha yang menjadi dasar dari KAP tersebut bukanlah berbentuk badan hukum, maka tanggung jawab terhadap kewajiban untuk mengganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan, sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, dibebankan kepada pribadi dari anggota persekutuan tersebut secara tanggung renteng. Dengan pengertian lain, bahwa harta yang akan menjadi jaminan pembayaran terhadap pemenuhan ganti-ganti rugi tersebut adalah harta pribadi dari masing-masing Akuntan Publik dalam hal KAP yang merupakan badan usaha dalam menjalankan Jasanya berbentuk Perorangan ataupun Persekutuan Perdata ataupun Persekutuan Firma.

 

Dalam ketentuan hukum Indonesia, tidak dikenal adanya pembatasan pertanggunganjawaban pribadi dari anggota persekutuan perdata, baik yang berbentuk firma ataupun non firma. Artinya dalam hal total dari nilai kerugian yang dibebankan kepadanya tersebut tidak mencukupi untuk dibayarkan dari hartanya, maka ada kemungkinan seorang Akuntan Publik untuk dapat dipailitkan secara pribadi sepanjang ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terpenuhi. Berbeda halnya di Amerika dan beberapa Negara lainnya, yang mengenal adanya pembatasan pertanggungjawaban dari anggota persekutuan perdata dalam suatu badan usaha yang berbentuk Limited Liability Partnership (LLP).

 

Potensi pertanggungjawaban secara pribadi ini harus menjadi perhatian yang sungguh-sungguh dipahami oleh setiap Akuntan Publik untuk dapat kiranya menghindarkan setiap sikap-sikap yang bertentangan dengan ketentuan hukum  dan pengaturan Kode etik profesi Akuntan Publik yang berlaku.

 

Selain konsekuensi Perdata, pelanggaran sikap profesionalisme yang dilakukan oleh Akuntan Publik juga dapat memberikan akibat yang bersifat pidana. Pada dasarnya hal ini telah diusulkan oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik yang saat ini telah berada dalam tahap pembahasan akhir. Dimana selain konsekuensi yang bersifat hukuman sanksi administratif, antara lain dalam pasal 46 RUU Akuntan Publik tersebut yang memberikan konsekuensi pidana untuk waktu maksimum 6 tahun dan denda maksimum Rp 300 juta bagi Akuntan Publik yang terbukti: (a) melanggar pasal 32 ayat 6 yang isinya mewajibkan seorang Akuntan Publik untuk mematuhi SPAP serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana pelanggar terhadap hal tersebut telah menimbulkan kerugian bagi pihak lain; (b) menyatakan pendapat atas Laporan Keuangan tidak berdasarkan bukti audit yang sah, relevan dan cukup.

 

Kemudian (c) melanggar ketentuan asal 37 ayat (1) huruf g dengan melakukan tindakan yang mengakibatkan kertas kerja dan sokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pemberian jasa tidak apat digunakan sebagaimana mestinya, dan juga huruf j dalam melakukan manipulasi data yang berkaitan dengan jasa yang diberikan; (d) Atau memberikan pernyataan tidak benar, dokumen also atau dokumen yang dipalsukan untuk mendapatkan atau memperbaharui ijin Akuntan Publik atau untuk mendapatkan ijin usaha KAP atau ijin pendirian cabang KAP.

 

Ketentuan pidana tersebut secara tegas ditentang oleh IAPI secara khusus terhadap pengenaan akibat pidana dalam hal terbukti seorang Akuntan Publik dalam menjalankan tugas profesinya tidak melakukannya berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam SPAP. Padahal, konsekuensi dari pelanggaran SPAP tersebut dimata para akuntan publik seharusnya merupakan suatu pelanggaran yang bersifat administratif sehingga sepantasnya dikenakan ketentuan sanksi administratif bukan tindakan pidana.

 

Pada dasarnya, walaupun ketentuan pidana tidak diatur dalam PMK No.17/PMK.01/2008 dan RUU Akuntan Publik, tetap saja tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Akuntan Publik untuk berprofesi secara profesional membuka potensi untuk dipidanakan oleh orang-orang yang dirugikan olehnya. Misalnya dalam hal terjadinya kedekatan yang sangat antara Akuntan Publik tersebut dengan klien, atau bahkan juga mungkin pemilik ataupun Akuntan Publik tersebut mempunyai hubungan keluarga langsung terhadap klien yang menggunakan jasanya tersebut, ataupun Akuntan Publik tersebut mendapatkan imbalan khusus. Sehingga dapat saja seorang Akuntan Publik melakukan tindakan kejahatan bahkan antara lain dengan cara memalsukan surat seperti yang diatur dalam pasal 263 dan pasal 264  KUHP, ataupun melakukan penipuan ataupun kebohongan seperti yang diatur dalam pasal 378 KUHP, yang dapat dikutip sebagai berikut:

 

Pasal 263 (1) KUHP: Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

 

Pasal 378 KUHP: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebiohongan , mengerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, supaya member utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara palaing lama 4 tahun.

 

Atau jikapun Akuntan Publik tidak melakukan tindak kejahatan tersebut secara langsung akan tetapi keterlibatannya dalam tindak pidana kejahatan pemalsuan surat ataupun penipuan tersebut dilakukan dengan cara turut melakukan ataupun membantu melakukan seperti yang diatur dalam pasal 55 dan 56 KUH Pidana, yang dikutip sebagai berikut:

 

Pasal 55 ayat (1) KUHP: Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana: Ke-1, mereka yang melakukan menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan; Ke-2, mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman ataupenyesatan, atau dengan member kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

 

Pasal 56 KUHP: Dipidana sebagai pembantu (medepichtige) suatu kejahatan: Ke-1, mereka yang sengaja membri bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; Ke-2, Mereka yang sengaja member kesempata, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

 

Mengingat ketentuan hukum pidana telah diatur secara umum dalam KUHP, pertanggungjawaban secara pidana tidak perlu harus terlebih dahulu diatur dalam UU Akuntan Publik, karena secara umum, tindakan-tindakan yang berhubungan dengan melakukan ataupun turut serta ataupun turut membantu melakukan kejahatan, akan memberikan konsekuensi pertangungjawaban pidana terhadap seorang Akuntan Publik seperti yang dijelaskan dalam pasal-pasal pidana tersebut di atas. Pemberian hukuman yang bersifat sanksi administratif, secara hukum tidak dapat menghapuskan akibat pidana yang diancamkan kepada seorang Akuntan Publik yang terbukti melakukan ataupun terlibat dalam tindakan kejahatan penipuan ataupun pemalsuan surat tersebut.

 

Jelas sikap professional dari sang Akuntan Publik timbul bukan karena rangkaian ancaman hukuman administratif, perdata dan bahkan pidana yang dapat menjeratnya dalam hal terjadinya pelanggaran tersebut, akan tetapi lebih karena memang dunia bisnis Indonesia membutuhkan suatu proses perjalanan yang sehat dan transparan, sehingga dalam hal menyajikan suatu keberadaan suatu perusahaan melalui laporan keuangannya tersebut, publik sangat membutuhkan akuntan publik yang benar-benar mempunyai kemampuan yang baik, professional dan independen dalam menjamin maksimumnya tingkat akurasi kebenaran dari hasil pernyataan pendapatnya terhadap Laporan Keuangan tersebut.

 

 

------

*) Penulis adalah seorang Advokat, Partner Pendiri Law Firm Ricardo Simanjuntak & Partners. Selain itu, Penulis juga seorang Kurator dan Administrator pada Pengadilan Niaga, Autorised Mediator dan juga Dosen program Pasca Sarjana.

Tags: