Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf a KUHP: Quo Vadis Lex Certa?
Kolom

Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf a KUHP: Quo Vadis Lex Certa?

Ketidakjelasan tersebut akan membuka peluang terjadinya multitafsir dan interpretasi-interpretasi subjektif masing-masing pihak dan ini tentu akan sangat berbahaya.

Bacaan 2 Menit

 

Pada praktiknya ketidakpastian proses hukum kembali terlihat ketika dalam satu kasus pelaku diberikan peringatan terlebih dahulu, sementara dalam kasus lain proses hukum terhadap pelaku langsung dilakukan.

 

Dalam perkembangannya, pengaturan penodaan agama ini ternyata juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 59 ayat 3 jo. Pasal 82 ayat 2 UU No. Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.

 

Sementara itu, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2016) tidak secara spesifik mengatur larangan penodaan agama, namun secara implisit hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 undang-undang itu yang berbicara mengenai penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kedua aturan tersebut juga tidak menjelaskan kriteria penodaan agama.

 

Persoalan lain yang juga seringkali muncul berkenaan dengan pasal ini adalah pihak yang merasa tersinggung karena menganggap agamanya dinodai kemudian melakukan penyebaran fitnah dan berita bohong. Di era digital di mana informasi bergerak sangat cepat, kabar tidak benar tersebut langsung tersebar luas dan persoalan menjadi semakin mengkhawatirkan. Intimidasi, ujaran kebencian (hate speech) yang berujungpersekusi hingga tindakan main hakim sendiri pun dilakukan terhadap orang atau kelompok yang dianggap telah melakukan penodaan agama. Pada akhirnya proses hukum pun berada di bawah tekanan massa.

 

Secara historis, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 yang kemudian ditetapkan sebagai UU ini dibentuk dalam keadaan darurat untuk menertibkan aliran-aliran yang menjadi ancaman revolusi. Dalam kondisi saat ini, Penetapan Presiden tentang Pencegahan Penodaan Agama ini dianggap tidak relevan untuk tetap dipertahankan.

 

Judicial review (uji material) terhadap ketentuan pasal ini telah pernah bebarapa kali dilakukan, namun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 84/PUU-X/2012 menolak permohonan tersebut. Sementara itu, Indonesia sendiri telah meratifikasi International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 15 Tahun 2015.

 

Mengacu pada ICCPR, pasal penodaan agama seharusnya dihapuskan karena selain bertentangan dengan prinsip kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, kehadiran pasal tersebut juga melanggar kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 18 ICCPR.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait