Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf a KUHP: Quo Vadis Lex Certa?
Kolom

Ketidakjelasan Kriteria Penodaan Agama dalam Pasal 156 huruf a KUHP: Quo Vadis Lex Certa?

Ketidakjelasan tersebut akan membuka peluang terjadinya multitafsir dan interpretasi-interpretasi subjektif masing-masing pihak dan ini tentu akan sangat berbahaya.

Bacaan 2 Menit

 

Hukum pidana memiliki kekhasan apabila dibandingkan dengan hukum-hukum lain. Kekhasan yang paling menonjol adalah sanksi berupa penderitaan yang bersifat khusus melalui pembatasan bahkan perampasan kemerdekaan yang memang tidak dikenal dalam bidang hukum lain. Hal ini terlihat jelas dari jenis-jenis pidana yang dijatuhkan, terutama pidana penjara dan pidana mati. Sebagai konsekuensi logis dari karakteristik tersebut, prinsip ultimum remedium (subsidiaritas) yang menjadikan hukum pidana sebagai upaya terakhir harus secara konsisten diterapkan.

 

Dalam kaitannya dengan asas legalitas sebagai salah satu asas fundamental dalam hukum pidana, dalam asas tersebut terkandung prinsip bahwa hukum pidana harus relatif jelas (lex certa). Hal ini sangat erat kaitannya dengan penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang dalam rangka memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia, terhindar dari kesewenang-wenangan (subjektivitas) penguasa dan tentunya demi terciptanya kepastian hukum dan keadilan sebagai cita-cita tertinggi.

 

Kembali ke persolan mendasar dalam Pasal 156 huruf a KUHP sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, ketidakjelasan kriteria penodaan agama jelas bertentangan dengan asas lex certa sebagai bagian dari asas legalitas. Ketidakjelasan tersebut akan membuka peluang terjadinya multitafsir dan interpretasi-interpretasi subjektif masing-masing pihak dan ini tentu akan sangat berbahaya.

 

Dalam praktik penegakan hukum, ketidakjelasan ini terlihat dari tindakan penyidik, penuntut umum maupun majelis hakim yang mencampuradukkan ketentuan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 dan Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 (Pasal 156 huruf a KUHP). Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyatakan : “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

 

Apabila ditelusuri, yang dilarang dalam Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 adalah penafsiran atau kegiatan agama yang menyimpang. Sementara Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 (Pasal 156 huruf a KUHP) melarang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama. Dalam kasus Lia Eden misalnya, majelis hakim menyatakan yang bersangkutan terbukti melakukan penodaan agama dan melanggar Pasal 156 huruf a KUHP karena telah melakukan penyebaran paham agama yang dianggap menyimpang.

 

Tindakan demikian seharusnya dijerat Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965, bukan Pasal 156 huruf a KUHP. Lebih jauh lagi, penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan peringatan atau pembubaran sebagaimana diatur dalam pasal 2 undang-undang yang sama yang berbunyi :

  1. Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
  2. Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Tags:

Berita Terkait