Ketertiban Hukum yang Berkeadilan dan Pemberantasan Korupsi
Prof. Dr. Krisna Harahap SH, MH(*)

Ketertiban Hukum yang Berkeadilan dan Pemberantasan Korupsi

Frasa "ketertiban yang berkeadilan", adalah das sollen. Masih merupakan harapan, dan cita-cita.

Bacaan 2 Menit

Memang, tidak salah pendapat yang menyatakan justice means different things to different people. Berbicara mengenai social justice maupun moral justice, pada gilirannya akan menimbulkan pertanyaan, keadilan bagi siapa dan bagi masyarakat yang mana? Di satu pihak banyak pengunjuk rasa yang berdemonstrasi "menuntut keadilan" ternyata karena memperoleh imbalan uang. Di lain pihak, banyak penghuni liar yang merasa tindakan Satpol PP tidak adil karena rumah-rumah atau kios-kios mereka diporakporandakan dengan buldozer.

Begitu pula dengan wartawan. Mereka merasa, keadilan takpernah berpihak kepada mereka ketika melaksanakan tugas. Puluhan pasal dalam KUHPidana dan juga di luarnya  menjadi ranjau yang siap meledak yang sewaktu waktu dapat menyeret mereka ke penjara. Banyak di antara pasal-pasal itu justru peninggalan kolonial, seperti haatzaai artikelen, yang justru dibuat untuk membelenggu para wartawan yang sebenarnya sekaligus menjadi pejuang untuk memerdekakan bangsanya. Di lain pihak, peranan pers dalam menegakkan keadilan dan ketertiban hukum sudah merupakan pendapat umum sehingga takperlu disangsikan lagi.

Bagian masyarakat lainnya merasa keadilannya terampas manakala menyaksikan pencuri ayam harus meringkuk di penjara sedangkan koruptor bebas berkeliaran di luar negeri. Padahal para koruptor itu jelas-jelas telah melanggar HAM, merampas milik rakyat untuk memperkaya diri sendiri. Mereka tidak perduli nasib rakyat yang terjerembab di jurang kefakiran dan kemiskinan. Inilah sebenarnya alasan mengapa gugatan terhadap UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya mengenai asas non retro aktif seharusnya dikesampingkan karena para koruptor itu sendiri telah menindas hak-hak ekonomi dan sosial rakyat di samping hak asasi lainnya.

Keadaan Indonesia yang masih juga belum berhasil keluar dari krisis multi dimensi yang dialaminya selama tujuh tahun, yang terutama disebabkan oleh korupsi, de facto telah membuat negara ini dalam keadaan darurat. Dalam keadaan staatsnood dimungkinkan timbulnya penyimpangan dari staatsorde yang normal yang memungkinkan terjadinya pengurangan dan penghapusan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini berlakulah pendapat abnormaal recht voor abnormale tijden ( Oemar Seno Aji: 1973). Walaupun asas non retroaktif  dewasa ini diterima secara universal, jangan dilupakan bahwa asas ini pernah dikesampingkan tatkala penjahat-penjahat perang Nazi Jerman, diseret ke pengadilan Neurenberg untuk mempertanggungjawabkan kejahatan genosida dan kemanusiaan yang mereka lakukan. Jadi,  karena telah terjadi penindasan terhadap HAM, maka asas non retroaktif untuk kasus ini disepakati untuk dikesampingkan.

Hal yang sama seyogianya berlaku pula dalam hal pemberantasan korupsi karena para koruptor telah menginjak-injak hak asasi rakyat sehingga 110 juta manusia Indonesia jatuh melarat, hidup miskin dan bodoh. Mereka kehilangan peluang untuk dapat hidup makmur dan bahagia, untuk memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak, untuk memperoleh keadilan sehingga harkat dan martabat mereka jauh berbeda dibandingkan saudara-saudara mereka dari belahan dunia lainnya. Kalaupun Pasal 28 I UUD 1945 menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagai hasil amandemen ke-2 UUD 1945, penggunaan asas ini secara umum seyogianya dikaji ulang oleh anggota MPR hasil pemilu 2004-2009 agar pada kesempatan pertama dapat diamandir kembali.  

***

Komisi Konstitusi MPR RI dalam hasil kajian komprehensifnya  mencatat bahwa UUD 1945 juga merupakan konstitusi dalam arti dinamik, yang tidak sekedar berisi tentang pembatasan kekuasaan melainkan juga tersedianya pengaturan interaktif antar unsur bangsa bersama-sama guna menentukan persoalan-persoalan ketatanegaraan yang ingin diwujudkan. Sayang, pada saat melakukan amandemen ke-2 UUD 1945 para anggota MPR kurang memperhitungkan kemungkinan digunakannya asas ini oleh para koruptor dengan berlindung di balik tameng HAM. Padahal, kejahatan yang mereka lakukan justru menginjak-injak hak asasi manusia itu sendiri.

Dengan langkah gontai dan tertatih-tatih, upaya pemberantasan korupsi di Republik ini sebenarnya telah dimuai sejak tahun 1957 ketika Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 lahir semasa Indonesia dinyatakan di bawah Staat van Oorlog en van Beleg (SOB).  Peraturan demi peraturan silih berganti hingga UU No. 30 Tahun 2002 tentang  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan yang menjadikan lembaga KPK sebagai super body, satu-satunya lembaga yang berwenang sekaligus sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut. Seperangkat peraturan perundang-undangan yang telah ada untuk memerangi para koruptor, dianggap masih juga belum cukup sehingga presiden atas desakan kuat dari masyarakat, mengeluarkan Inpres No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Tags: