Ketertiban Hukum yang Berkeadilan dan Pemberantasan Korupsi
Prof. Dr. Krisna Harahap SH, MH(*)

Ketertiban Hukum yang Berkeadilan dan Pemberantasan Korupsi

Frasa "ketertiban yang berkeadilan", adalah das sollen. Masih merupakan harapan, dan cita-cita.

Bacaan 2 Menit

***

Banalisasi terhadap korupsi, mengubah pendapat kita tentang korupsi sebagai perbuatan terkutuk. Kita sengaja melupakan bahwa korupsilah sebenarnya penyebab utama kemiskinan di negeri ini. Catatan terakhir Bank Dunia menunjukkan bahwa 50 persen dari penduduk Indonesia sekitar 110 juta orang, tergolong miskin karena pendapatan mereka di bawah AS$2. Walaupun agak spekulatif, seharusnya kita menyimak laporan yang pernah disampaikan oleh mantan Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie yang menyatakan bahwa kekayaan yang dikorup mencapai Rp 444 triliun per tahun. Angka yang melebihi APBN itu terjadi karena hutan terus dibabat (mencapai 2,8 juta hektar per tahun), kekayaan laut terus dikuras, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak terus digalakkan tanpa mengindahkan kebocoran yang terjadi. Sementara itu anggaran pembangunan dalam APBN sangat menciut karena tiap tahun harus  membayar bunga dan angsuran pinjaman pokok. Sedangkan sekitar 30 persen dari APBN itu, menurut perkiraan begawan ekonomi kita, Prof.Sumitro Djojohadikusumo (alm.), masuk saku para koruptor. Bahkan menurut laporan BPK dalam semester I tahun 2004, persentase penyimpangan APBN setahun sebelumnya telah mencapai 50 persen.

Masyarakat yang kemudian terlanjur permisif, pada gilirannya semakin menggandakan jumlah penduduk yang jatuh miskin dan cuek terhadap penegakkan hukum. Segala peraturan menjadi nomor dua karena isi perutlah yang primer. Tanpa menghiraukan peraturan-peraturan di bidang tata ruang dan bangunan, penduduk nekad bermukim di bibir pantai atau di bantaran sungai. Ketika gempa dan tsunami datang, ratusan ribu penduduk menemui ajal. Sementara itu, setiap perempatan jalan dipenuhi anak-anak yang terpaksa menengadahkan tangan, mengharapkan belas kasihan untuk membeli sesuap nasi karena orang tuanya sudah tidak sanggup menyediakan biaya sekolah. Dalam keadaan demikian, kejahatan berbiak takterkendali.

Eigenrichting terjadi dimana-mana. Yang diteriaki maling, mati dikeroyok massa. Lebih sadis lagi, korban menemui ajal setelah tubuhnya disiram bensin kemudian dibakar hidup-hidup. Di media setiap hari dapat pula kita ikuti berita perang antar desa atau antar kelompok. Selain nyawa melayang, rumah-rumah dibakar sehingga penduduknya harus mengungsi. Sungguh tepat ajaran agama yang menyatakan bahwa "kemiskinan itu awal dari kekhufuran". Di sini berlakulah street justice atau dark justice seperti yang sering kita saksikan di layar kaca.

Keadaan ini terus berlangsung. Pemerintah sendiri taksanggup menghentikannya. Ketentuan Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan "Fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh negara" tinggal menjadi khayalan belaka. Mengapa pemerintah taksanggup melaksanakan amanat undang-undang dasar ini? Karena pemerintah juga sudah menjadi miskin bahkan menjadi pengemis, karena kekayaan negara, penerimaan negara sebagian terbesar dikorup oleh koruptor berbaju bankir, pengusaha atau pejabat. Karena itu, adalah tepat apabila dikatakan bahwa para koruptor itu telah merampas hak ekonomi dan sosial milik rakyat bahkan hak-hak politik mereka.

Tegasnya, perbuatan para koruptor yang telah menindas hak asasi manusia itu dapat dikatagorikan sebagai extra ordinary crime sehingga penanganannyapun harus luar biasa pula. Ibarat bandul jam, para hakimlah yang sebenarnya menjadi orang dan instansi pertama penemu titik singgung ketertiban hukum dan keadilan itu. Dia akan menemukan titik yang dicari manakala dia berhasil memadu legal justice-social justice dan moral justice dalam putusan-putusannya. Dalam rangka menjatuhkan vonis, hakim harus mampu melakukan pendekatan yuridis sekaligus pendekatan sosiologis yakni tata nilai dalam masyarakat dan pendekatan filosofis sesuai dengan hakikat irah-irah setiap vonis yang dikeluarkannya.  Mungkinkah itu?

Pertanyaan tersebut wajar dilontarkan mengingat Sang Hakim tidak saja harus mempertanggungjawabkan keputusan-keputusannya kepada hukum tetapi juga kepada masyarakat dan Tuhan YME. Ketika hendak menjatuhkan vonis, Sang Hakim harus senantiasa ingat akan tanggung jawabnya yang berat itu. Ia tidak boleh memihak. Ia harus berpedoman kepada  Al Qur'an, surat Al-Maidah 42, yang artinya: "Dan jika kamu memutuskan perkara meraka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil".

Selama ini, para hakim kita berpegang erat-erat  kepada pengertian legal justice seperti yang dianut oleh Pasal 1 KUHP dengan ketentuan klasik nullum delictum noela poena sine  previa lega poenali atau no punishment without law. Terpenuhinya semua unsur pidana menjadi patokan  utama. Seperti dikemukakan oleh E.Utrecht, asas ini tidak melindungi kepentingan-kepentingan kolektif, karena konsepnya yang menganut mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena ada peraturan) bukan mala inse (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela). Karena itu, walaupun tidak semua unsur pidana terpenuhi tetapi menurut rasa keadilan masyarakat, terdakwa harus dihukum karena bersalah. Atau tidak semua unsur pidana terpenuhi tetapi menurut keyakinan dan hati nurani banyak orang, terdakwa pasti bersalah.

Tags: