Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih: Menyoal Delik-Delik "Kontroversial" dalam RKUHP
Problematika RKUHP:

Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih: Menyoal Delik-Delik "Kontroversial" dalam RKUHP

Pemerintah memastikan mendengar masukan semua pihak, termasuk mempertimbangkan putusan MK dan peraturan-peraturan lain, seperti Peraturan MA.

Novrieza Rahmi/Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Jadi, ada ketentuan dan beberapa batasan juga, termasuk ketika dikenakan pidana denda. Pidana denda itu kan juga macam-macam. Ini kita buat kategorinya. Nanti, ada kategori yang sudah ditentukan. Kalau (kategori) VI tuh sampai Rp15 miliar. Lha, bagaimana yang di atasnya? Misalnya, (pidana denda) pada tindak pidana anti monopoli, lingkungan, kan (dendanya) ratusan miliar, termasuk pidana pajak. Nah, ini yang perlu kami berikan ruang. Jangan dengan (kategorisasi) begini, kemudian (jumlah denda) diturunkan. Ada kekhususan yang ada di situ.

 

(Misalnya lagi) Ketika delik yang dilakukan berdampak pada keuntungan besar yang dia peroleh, terkait dengan perekonomian (negara). Nah, itu otomatis dia harus dikenakan denda yang besar juga. Jadi, ini kita tidak punya pola. Sekarang kita bikin pola pemidanaanya. Mudah-mudahan nanti bisa digunakan sebagai pegangan untuk semua UU lainnya yang dibahas di DPR. Supaya tidak ngawur lagi kalau bikin pidana.

 

Jenis pidana pokok dalam RKUHP diperluas, ada penambahan pidana pengawasan dan kerja sosial?

Begini, pidana pokok cuma dua, pidana penjara dan denda. Tapi, kemudian dalam pidana penjara itu ada berbagai macam, semacam cara untuk menerapkannya, yaitu lewat pidana kerja sosial, pengawasan, tutupan. Ini memang nanti yang akan (mempunyai) ruang untuk menentukan tuh hakim. Kapan akan dikenakan pidana kerja sosial, kapan akan dikenakan pidana pengawasan, kapan akan dikenakan pidana tutupan? Pidana tutupan itu semacam pengganti pidana penjara, tapi ini kelihatannya akan jarang sekali digunakan. Dulu pun sudah sangat jarang walaupun sudah ada (dalam KUHP) karena itu menyangkut tindak pidana tertentu, misalnya yang ada aspek politiknya, oleh tokoh yang berdampak, punya jasa, dan sebagainya. Harus ada pertimbangan-pertimbangan khusus di situ.

 

Jadi, bukan perluasan, ini salah satu cara untuk menerapkan bagaimana (pidana) penjara itu dilakukan. Ini bagian juga untuk mengurangi over capacity, salah satunya nanti, misalnya pidana kerja sosial. Tapi, bukan berarti semua bisa melakukan tindak pidana seenaknya. Nggak. Ada (aturan) kapan akan dikenakan. Ini memang suatu mekanisme kerja yang tidak sederhana sebetulnya untuk republik yang sudah sekian lama berdiri, bagaimana kita membangun kesadaran hukum masyarakat yang semakin baik, bagaimana kemudian kita mensosialisasikan KUHP yang baru ini, termasuk membangun profesionalisme dari aparat penegak hukumnya.

 

Dalam RKUHP terdapat enam kategori denda, serta konversinya terhadap pidana pengawasan dan kerja sosial. Bagaimana cara menghitungnya?

Selama ini, kita melihat denda kan (mata uang) rupiah semua, sehingga kalau ada inflasi segala macam, tidak bisa apa-apa. Tapi, kalau menggunakan kategori (bisa disesuaikan). Ini kan digunakan di Belanda juga. Bahkan, mereka paling banyak menggunakan denda kategori V, paling berat. Jadi, kategori itu bukan punya kita sendiri, kita juga mengadopsi yang berlaku di Belanda. Dengan begitu, ketika inflasi, bisa mengikuti, menggunakan nilai harga emas, juga melihat ketika dia kerja sosial itu berapa upahnya. Itu menjadi pertimbangan. Di penjelasannya sudah ada itu, penjelasan dari Pasal 82, tentang bagaimana penerapan pidana denda. Jadi, (model kategorisasi) tidak lekang oleh zaman.  

 

RKUHP mengacu batas usia usia anak ke ketentuan yang mana? Apakah untuk anak, RKUHP juga tetap mengutamakan restorative justice?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait