Kenali Mekanisme Penyelesaian Nonlitigasi Sengketa Norma Perundang-Undangan
Utama

Kenali Mekanisme Penyelesaian Nonlitigasi Sengketa Norma Perundang-Undangan

Menyelesaikan secara non-litigasi, majelis memeriksa norma perundang-undangan yang saling bertentangan.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit

Bayu tidak menganggap penyelesaian di Kemenkumham ini sebagai sesuatu yang melewati kewenangan. Sebab, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan kewenangan Kemkumham ada di bidang pembentukan perundang-undangan Prolegnas; pembahasan harmonisasi RUU, RPP dan Perpres; dan   pengundangan. Lalu, Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik sebagai turunan dari UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menyebutkan salah satu fungsi Kemenkumham adalah menyelenggarakan urusan di bidang perundang-undangan. Meski tak dijelaskan secara eksplisit, ‘urusan’ dimaksud, kata Bayu, dapat ditafsirkan salah satunya penyelesaian sengketa nonlitigasi. “Yang tidak boleh itu jalur litigasi, itu kewenangan MK dan MA,” tegasnya.  

Bivitri juga menganggap penyelesaian non-litigasi ini tidak melanggar asas peraturan perundang-undangan dan kerangka administrasi negara. Apa yang dilakukan Kemenkumham masih berada dalam wilayah tugas dan fungsi sesuai dengan Perpres No. 44 Tahun 2015. “Masih ada dalam koridor konstitusional karena dasar penyelenggaraan pemerintahan negara memang kewenangan presiden,” jelasnya.

Bivitri mengigatkan bahwa rekomendasi majelis pemeriksa akan diberikan ke presiden jika pihak-pihak yang peraturannya berkonflik tidak berhasil mencapai kesepakatan. Majelis ini juga tidak memiliki upaya paksa seperti penegak hukum, sehingga tidak ada prinsip negara hukum dan HAM yang dilanggar. Kalau pihak terkait tidak datang misalnya, karena ini bukan sengketa pihak, maka dalam berita acara, majelis pemeriksa cukup menyatakan saja pihak sudah dipanggil tapi tidak hadir.

Meskipun demikian, Bivitri menilai penyelesaian sengketa perundang-undangan jalur nonlitigasi ini masih punya kelemahan, terutama pada efektivitas rekomendasi. Rekomendasi yang dihasilkan dari proses pemeriksaan konflik antar norma tidak punya daya ikat layaknya putusan pengadilan. “Tapi bukankah tidak semua hal harus diselesaikan dengan cara pengadilan? Bahkan pengadilan pun sekarang sedang menekankan pendekatan mediasi,” imbuhnya.

Kelemahan lainnya ada pada posisi Permenkumham sendiri. Dasar hukum penyelesaian non-litigasi ini adalah Permen, beberapa wakil K/L tidak datang ke persidangan karena merasa aturannya hanya dibuat Menteri yang kedudukannya sama dengan Kementerian lain. Bivitri yakin Permenkumham ini sangat diperlukan sebagai kontribusi pada pembenahan regulasi (reformasi regulasi), termasuk pelaksanaan Undang-Undang. Ia juga optimis stagnasi yang timbul karena konflik norma bisa dilancarkan lagi jika model penyelesaian non-litigasi diikuti. Karena itu, ia berharap Kemenkumham gencar melakukan sosialisasi agar pihak lain tak menganggap Kemenkumham melangkahi kewenangan.

Salah satu contoh penyelesaian yang sudah diputus adalah permohonan Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto. Sidangnya diselenggarakan di ruang Legisprudensi Gedung Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, 21 September lalu. Sidang pemeriksaan dihadiri kuasa hukum Pemohon dari LBH Jakarta dan orang tua Pemohon, perwakilan Biro Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, dua orang ahli yakni Agus Riwanto dan Jimmy Z. Usfunan.

(Baca juga: Rehabilitasi dan Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap).

Pemohon adalah korban salah tangkap yang diputuskan tidak bersalah oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap pada tanggal 20 Januari 2015. Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah (PP) No. 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pemohon berhak atas ganti kerugian yang dibayarkan oleh Kementerian Keuangan. Pemohon tak mendapatkan ganti rugi karena –alasan Kementerian Keuangan-- belum ada Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksana PP No. 92 Tahun 2015.

Sidang ini menghasilkan dua kesepakatan. Pertama, Kementerian Keuangan setuju bahwa pembayaran ganti rugi bagi korban salah tangkap atas nama Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 108/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 11/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2018. Kedua, pembayaran sebagaimana dimaksud dalam kesepakatan poin pertama, paling lama akhir Tahun Anggaran 2018, dibayarkan paling lambat 30 Desember 2018.

Tags:

Berita Terkait