Keanekaragaman Hayati, Hukum, dan Krisis Planet
Kolom

Keanekaragaman Hayati, Hukum, dan Krisis Planet

Sudah saatnya kebijakan mengenai rezim hukum keanekaragaman hayati diperbarui dan disesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi saat ini.

Bacaan 6 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional (International Biodiversity Day) setiap tanggal 22 Mei. Tanggal ini bertepatan dengan disepakatinya Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/ CBD) pada 22 Mei 1992. Hingga saat ini tercatat 196 negara telah menjadi Negara Pihak CBD. Jumlah itu membuat konvensi ini menjadi salah satu perjanjian internasional yang partisipasinya nyaris universal. CBD memiliki tiga tujuan yaitu: konservasi keanekaragaman hayati; pemanfaatan berkelanjutan komponen keanekaragaman hayati; dan pembagian keuntungan yang adil dan berimbang dari pemanfaatan sumber daya genetik (Pasal 1 CBD).

Beranjak dari tiga tujuan tersebut, CBD mengatur beberapa ketentuan mendasar. Mulai dari prinsip hak berdaulat (sovereign right) setiap negara atas pemanfaatan sumber daya alam; langkah-langkah yang perlu diambil negara dalam konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati; keamanan hayati (biosafety) dari produk-produk hasil bioteknologi; dan akses serta pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik.CBD dilengkapi oleh dua protokol yaitu Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati dan Protokol Nagoya tentang Akses dan Pembagian Keuntungan dari Pemanfaatan Sumber Daya Genetik. Dua protokol ini telah diratifikasi oleh Indonesia.

Baca juga:

Protokol Cartagena berperan mengatur lebih lanjut aspek keamanan dari penerapan bioteknologi dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati yang merujuk Pasal 8(g) dan Pasal 19 CBD. Prinsip utama yang melandasi protokol ini adalah prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Inilah salah satu prinsip fundamental dalam hukum lingkungan internasional. Sejalan dengan prinsip ini, Protokol Cartagena bertujuan mengimplementasikan ketentuan CBD tentang keamanan penerapan bioteknologi, khususnya keamanan produk-produk rekayasa genetik (PRG). Beberapa ketentuan penting diatur dalam Protokol Cartagena: langkah-langkah penanganan; pengangkutan; pengemasan dan pengidentifikasian (handling, transport, packaging and identification) PRG; penilaian risiko (risk assessment) dan pengelolaan risiko (risk management).

Protokol Cartagena dilengkapi dengan Protokol Tambahan (Supplementary Protocol) Nagoya-Kuala Lumpur. Isinya mengatur lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan pemulihan (liability and redress) dari kerusakan yang ditimbulkan akibat perpindahan lintas batas PRG. Namun, Indonesia belum menjadi negara pihak terhadap Protokol Tambahan ini.

Sementara itu, Protokol Nagoya berperan mengatur lebih lanjut mekanisme akses dan pembagian keuntungan (access and benefit-sharing) dalam pemanfaatan sumber daya genetic. Pengaturan ini mengacu Pasal 15 CBD. Tujuan utama protokol ini adalah memastikan hak berdaulat setiap negara atas sumber daya genetic. Termasuk pula menjamin pembagian keuntungan yang adil dan berimbang dari pemanfaatannya untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati. Ketentuan dalam Protokol Nagoya dilandasi dua prinsip utama yaitu prior informed consent (PIC) dan mutually agreed terms (MAT). Berdasarkan kedua prinsip ini, pemanfaatan sumber daya genetik harus dilaksanakan berdasarkan mekanisme akses dan persetujuan dari pihak penyedia sumber daya genetic. Pelaksanaannya sesuai dengan kesepakatan antara pihak penyedia dan pengguna sumber daya genetik tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya genetic—termasuk aplikasi dan komersialisasinya—harus dibagi secara adil dan berimbang dengan pihak penyedia sumber daya genetik. Hal ini juga berlaku dalam hal pemanfaatan pengetahuan tradisional milik masyarakat asli atau lokal yang terkait dengan sumber daya genetik tersebut.

Perkembangan Terkini

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional dihadapkan pada krisis lingkungan global yang semakin memprihatinkan. Krisis ini juga dikenal dengan triple planetary crisis yang terdiri dari perubahan iklim (climate change), pencemaran (pollution), dan hilangnya atau menurunnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss). Tiga krisis ini saling berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lain. Kondisi perubahan iklim telah menyebabkan hilangnya atau menurunnya keanekaragaman hayati di laut, khususnya terumbu karang. Ini akibat kondisi lautan yang semakin menghangat dan semakin asam. Di sisi lain, keanekaragaman hayati berperan besar dalam upaya adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi perubahan iklim. Sebut saja peran ekosistem lahan basah seperti hutan bakau dalam menyerap emisi karbon. Oleh karena itu, telah menjadi suatu keniscayaan bagi masyarakat internasional untuk memberi perhatian lebih pada keterkaitan antara perubahan iklim dan keanekaragaman hayati (climate-biodiversity nexus).

Tags:

Berita Terkait