Keanekaragaman Hayati, Hukum, dan Krisis Planet
Kolom

Keanekaragaman Hayati, Hukum, dan Krisis Planet

Sudah saatnya kebijakan mengenai rezim hukum keanekaragaman hayati diperbarui dan disesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi saat ini.

Bacaan 6 Menit

Namun, Protokol Cartagena belum mengatur secara spesifik tentang teknologi genome editing. Masih terjadi perdebatan apakah rekayasa genetik melalui teknologi seperti CRISPR dapat disamakan dengan rekayasa genetik konvensional. Beberapa negara seperti Argentina, India, Jepang, dan Kenya telah menetapkan kebijakan khusus mengenai produk-produk hasil teknologi genome editing.

Contoh lainnya adalah implementasi ketentuan CBD dan Protokol Nagoya, dalam hal pemanfaatan sumber daya genetik melalui teknologi Digital Sequence Information (DSI). Secara umum, DSI dapat didefinisikan sebagai data rangkaian genomik (genomic sequence data) dan data digital terkait lainnya. Isinya memuat informasi detail tentang komposisi deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) dari suatu organisme makhluk hidup. Dengan demikian, pemanfaatan sumber daya genetik tidak lagi memerlukan akses secara fisik, cukup dengan mengakses informasi yang tersimpan di basis data DSI.

Di satu sisi, teknologi DSI dapat mengungkap berbagai hal mengenai pemanfaatan sumber daya genetik yang tidak diketahui atau tidak terbayangkan sebelumnya oleh para peneliti bioteknologi. Di sisi lain, Protokol Nagoya belum mengatur secara spesifik apakah rezim hukum tentang akses dan pembagian keuntungan juga berlaku terhadap pemanfaatan sumber daya genetik melalui DSI.

Implementasi CBD dan kedua protokolnya sangat penting bagi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi (megadiverse), sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagaimana tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, keanekaragaman hayati merupakan sumber daya yang sangat strategis. Potensinya sangat besar dalam memenuhi kebutuhan bahan baku obat, pangan, kosmetik, rempah, dan lain-lain. Hilangnya atau menurunnya tingkat keanekaragaman hayati akan berdampak sangat signifikan terhadap pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Sudah saatnya kebijakan mengenai rezim hukum keanekaragaman hayati diperbarui dan disesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi saat ini. Upaya pembaruan ini dapat difokuskan pada dua hal. Pertam soal kebijakan mengenai dampak perkembangan teknologi terhadap rezim hukum keamanan hayati. Kedua soal rezim hukum tentang akses dan pembagian keuntungan dalam pemanfaatan sumber daya genetic. Dua hal ini tampaknya belum terakomodasi secara komprehensif dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Masalah keanekaragaman hayati ini bersifat multidimensi. Upaya pembaruan yang penulis maksud perlu dirancang melalui proses dialog dan komunikasi yang efektif antara berbagai bidang terkait. Tidak lain khususnya bidang hukum, lingkungan, dan bioteknologi.

*)Achmad Gusman Catur Siswandi, Ph.D. adalah  Dosen Hukum Internasional dan Wakil Dekan Bidang Pembelajaran, Kemahasiswaan, dan Riset di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait