Jurnalis Kerap Dihantui Masalah Ketenagakerjaan
Berita

Jurnalis Kerap Dihantui Masalah Ketenagakerjaan

Mulai dari upah murah, pemberangusan serikat pekerja sampai minimnya perlindungan atas resiko kerja.

ADY
Bacaan 2 Menit
Jurnalis Kerap Dihantui Masalah Ketenagakerjaan
Hukumonline

Nasib jurnalis tak berbeda sepertipekerja pada umumnyayang kerap bersinggungan dengan masalah ketenagakerjaan. Menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Eko Maryadi, sedikitnya ada tiga persoalan ketenagakerjaan yang acap kali dialami jurnalis.

Pertama, soal kesejahteraan. Mengacu data Dewan Pers, terdapat 60-70 persen jurnalis mendapat upah yang tidak layak dan ada yang di bawah upah minimum. Padahal, tugas jurnalis tergolong beresiko tinggi karena sering berhadapan dengan ancaman ketika menjalani peliputan.

Selain itu, dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, termasuk Indonesia, jurnalis biasanya disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Namun, dengan kondisi yang tidak mendukung itu, posisi jurnalis di Indonesia sekarang masih rentan. Padahal, Eko mencatat perkembangan perusahaan media baik di tingkat pusat dan daerah tergolong pesat. Mulai dari media cetak, elektronik, televisi dan online. Ironisnya, pertumbuhan itu tidak dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan jurnalis.

“Meningkatnya bisnis media di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan wartawan,” kata Eko dalam RDPU dengan komisi IX DPR, Selasa (9/7).

Walau begitu, Eko menekankan bukan berarti jurnalis boleh menerima amplop atau imbalan dari narasumbernya sehingga independensi terhadap berita tidak terjaga. Secara organisasi Eko menyampaikan bahwa AJI menolak imbalan tersebut. Ia pun menegaskan ketika ada anggota AJI yang terbukti melakukan hal itu, akan dipecat dari keanggotaan. Tapi Eko tidak menampik bahwa kesejahteraan jurnalis berpengaruh terhadap independensi media.

Misalnya, ada anggota AJI yang diperintahkan perusahaannya untuk mencari iklan. Padahal, tugas jurnalis bukan menjaring pihak-pihak yang mau beriklan di media, tapi mencari berita. Ujungnya, jurnalis tersebut mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Persoalan kesejahteraan itu menurut Eko bukan hanya dialami oleh jurnalis yang bekerja di daerah, tapi juga kota besar, salah satunya Jakarta. Untuk jurnalis di daerah, mekanisme pengupahan yang diterapkan perusahaan biasanya tidak merujuk pada upah minimum di wilayah itu, tapi berapa berita yang tayang.

Oleh karenanya, jika tidak ada berita dari si jurnalis yang tayang di perusahaan media itu, maka dia tidak mendapat upah. Bahkan, Eko melanjutkan status kerja jurnalis tidak terbatas hanya kontrak atau tetap sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Tapi ada yang berstatus koresponden, stringer, kontributor dan lainnya. Belum lagi, persoalan yang dihadapi bukan sekedar upah yang tidak layak tapi tidak mendapat hak lainnya seperti Jamsostek dan asuransi.

Tags: