Jurnalis Kerap Dihantui Masalah Ketenagakerjaan
Berita

Jurnalis Kerap Dihantui Masalah Ketenagakerjaan

Mulai dari upah murah, pemberangusan serikat pekerja sampai minimnya perlindungan atas resiko kerja.

ADY
Bacaan 2 Menit

Persoalan ketenagakerjaan kedua menurut Eko bersinggungan dengan kebebasan berserikat. Pasalnya, banyak perusahaan media yang alergi dengan serikat pekerja. Eko mencatat dari ribuan perusahaan media di Indonesia, yang punya serikat pekerja hanya segelintir. Biasanya, serikat pekerja ada di perusahaan media yang cukup besar seperti Kompas, Tempo dan Jakarta Post. Seharusnya, perusahaan media menjadi contoh dalam memperjuangkan kebebasan pers dengan cara membuka ruang lebar bagi jurnalis untuk berserikat.

Alih-alih menjaga kebebasan berserikat itu, Eko menyebut sebagian perusahaan media malah menghambat jurnalis yang berserikat. Entah karirnya dipersulit atau dipecat. Misalnya, kasus Luviana, jurnalis perempuan Metro TVyang digantung status kerjanya dan tidak diupah karena hendak membangun serikat pekerja. “Itu kan menyalahi UU Ketenagakerjaan,” kesalnya.

Ketiga, Eko menyoroti minimnya perlindungan yang diberikan perusahaan media kepada jurnalis. Padahal perlindungan itu penting karena tugas jurnalis resikonya tinggi. Baik ketika melakukan peliputan di lapangan, atau sesudah berita yang dibuatnya ditayangkan. Pasalnya, tidak sedikit jurnalis yang dikriminalisasi karena pihak tertentu tidak menyukai tulisan si jurnalis.

Pada kesempatan yang sama, anggota divisi serikat pekerja AJI, Alwan Ridha Ramdani, menyebut AJI mengusulkan agar upah jurnalis, khususnya di daerah, paling sedikit sebesar upah minimum. Hal itu perlu dilakukan mengingat sebagian besar jurnalis di daerah tidak punya upah dasar. “Untuk kontributor di daerah, upahnya baru dibayar kalau beritanya tayang,” ujarnya.

Oleh karenanya, jurnalis merdeka.com itu mengusulkan agar komponen kebutuhan hidup layak (KHL) perlu memasukkan kebutuhan dasar pekerja media. Seperti berlangganan koran dan internet. Bahkan ke depan Alwan berharap agar ada upah sektoral untuk pekerja media dan perwakilan pekerja media yang duduk di dewan pengupahan. Dengan begitu, upaya untuk meningkatkan upah jurnalis menuju layak diharapkan dapat terwujud.

Tak ketinggalan Alwan menyoroti instansi ketenagakerjaan yang dirasa tidak pernah menyambangi perusahaan media untuk melakukan pemeriksaan. Padahal, pengawas ketenagakerjaan sangat diperlukan perannya dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak pekerja media. “Kami mendesak pemerintah untuk melakukan pengawasan ke perusahaan media,” tukasnya.

Pada kesempatan itu, organisasi jurnalis lain yang hadir seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), secara umum menyatakan hal serupa bahwa perbaikan kesejahteraan jurnalis harus menjadi perhatian serius DPR dan pemerintah.

Tags: