Inkonsistensi Implementasi Putusan MK tentang Pembubaran BP Migas
Kolom

Inkonsistensi Implementasi Putusan MK tentang Pembubaran BP Migas

SKK Migas secara konsep tampak tidak berbeda dengan BP Migas dan berpotensi besar untuk dibatalkan melalui judicial review ke Mahkamah Agung atau digugat ke pengadilan.

Bacaan 2 Menit

a.  Menempatkan Menteri ESDM sebagai pembina, pengkoordinasi dan pengawas penyelenggaraan  pengelolaan Minyak dan Gas Bumi.

b.  Menetapkan SKK Migas sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sampai diterbitkannya undang-undang baru di bidang minyak dan gas bumi.

c.   Memunculkan konsep Komisi Pengawas sebagai pengendali, pengawas dan pengevaluasi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh SKK Migas.

Di sinilah Penulis menilai Presiden inkonsisten menanggapi putusan MK ini. Penerbitan Perpres 9/2013 jelas menunjukkan bahwa Presiden tidak membaca dengan seksama pertimbangan putusan MK. Pembentukan SKK Migas melalui Perpres 9/2013 bertentangan dengan pertimbangan MK yang sangat jelas mengamanatkan bahwa fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah c.q Kementrian terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut.  

Perpres 9/2013 ini jelas mengaburkan Perpres 95/2012. Menurut Penulis, inkonsistensi Presiden tampak jelas dengan mengeluarkan Perpres 9/2013 yang membentuk SKK Migas sebagai pengelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Pergantian BP Migas yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK ke SKK Migas seperti hanya berganti baju. Mungkin yang berbeda adalah konsep Komisi Pengawas dalam SKK Migas. Entah apa landasan Presiden menerbitkan Perpres 9/2013 ini. SKK Migas secara konsep tampak tidak berbeda dengan BP Migas dan menurut Penulis berpotensi besar untuk dibatalkan melalui judicial review ke Mahkamah Agung atau digugat ke pengadilan karena pembentukan SKK Migas ini malah menambah jenjang dan inefisiensi terhadap pengelolaan minyak dan gas bumi dan tidak mengindahkan pertimbangan hukum putusan MK sehingga potensial disebut inkonstitusional.

Sungguh sangat disayangkan, masih terdapat celah yang terbuka lebar yang dapat semakin membuat pelaku usaha hulu bisnis minyak dan gas bumi menjadi cemas. Bila judicial review ke Mahkamah Agung mengenai Perpres 9/2013 ini dilakukan atau bila ada gugatan yang diajukan oleh masyarakat terhadap keberadaan KKS yang sekarang berlaku yang dialihkan kepada SKK Migas yang notabene tidak berbeda dengan BP Migas (inkonstitusional) yang dikabulkan maka terbayang dampak ketidakpastian hukum terhadap pelaku usaha hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia.

Pasal 10 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU No. 12/2011”) menyebutkan bahwa salah satu materi muatan yang harus diatur oleh Undang-Undang berisi tindak lanjut atas putusan MK. Tindak lanjut atas putusan MK tersebut dapat dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Tentunya Putusan MK ini merupakan pekerjaan rumah bagi Presiden dan DPR terkait dengan pembentukan UU Migas yang baru untuk mengakomodir keputusan MK. Bila Presiden tidak menjalankan pertimbangan MK nampaknya sudah saatnya DPR melakukan langkah konkret sesuai kewenangannya dengan segera merevisi UU Minyak dan Gas Bumi untuk mengakomodir putusan MK agar peristiwa pembubaran SKK Migas tidak terulang di kemudian hari demi terciptanya iklim investasi yang kondusif untuk industri minyak dan gas bumi.

*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung/Praktisi Hukum
**Tulisan merupakan pendapat pribadi Penulis tidak mewakili institusi manapun

Tags:

Berita Terkait