Iman Sjahputra:
Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi Elektronik
Profil

Iman Sjahputra:
Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi Elektronik

Pemerintah diharapkan bisa segera membentuk lembaga sertifikasi untuk meneliti kelayakan setiap perusahaan yang akan melakukan usaha transaksi elektronik dan memberi pengesahan.

Inu/CR-9
Bacaan 2 Menit

 

Apakah perjanjian baku dalam konteks transaksi elektronik bisa batal demi hukum?

Tergantung di mana terjadinya. UU Perlindungan Konsumen hanya berlaku di wilayah hukum indonesia. Sementara beberapa transaksi terjadi antar negara. Apalagi dalam prakteknya kan batalnya transaksi baku ini tidak batal demi hukum. Harus dimintakan dulu pembatalannya ke pengadilan.

 

Jadi menurut Anda, seharusnya bagaimana?

Ya, harus ada revisi UU Perlindungan Konsumen, perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. UU ini kan dibuat tahun 1999. Saat itu pemakaian internet di Indonesia belum begitu signifikan, apalagi transaksi melalui internet.  Saat ini, meski tidak sebesar negara lain, pemakaian internet sudah cukup meluas dan transaksi elektronik juga semakin banyak. Selain itu, perlu juga dimasukkan klausul untuk menjangkau pelaku usaha luar negeri. Karena transaksi elektronik banyak lintas negara kan.

 

Kerugian apa saja yang banyak dialami konsumen dalam transaksi elektronik?

Dalam transaksi elektronik, ada beberapa bentuk potensi kerugian konsumen, misalnya barang yang dikirim rusak atau tidak sesuai spesifikasi, barang tidak pernah sampai, padahal konsumen sudah bayar, pelaku usaha ternyata palsu.

 

Lebih banyak dengan pelaku usaha Indonesia atau luar negeri?

Luar negeri. Metode perdagangan via internet ini lebih populer di luar negeri. Konsumen Indonesia kemudian membeli barang ke pelaku usaha luar negeri seperti itu.  Di Indonesia sendiri, volume transaksi elekronik belum terlalu besar. Pengguna internet di Indonesia juga baru sekitar lima juta orang. Di Singapura, ada lembaga sertifikasi yang dibentuk, Asosiasi Konsumen Singapura. Disebut case trust. Lembaga ini meneliti kelayakan setiap perusahaan yang akan melakukan usaha transaksi elektronik dan memberi pengesahan. Penelitian kelayakan dilakukan dengan mengaudit keseluruhan data perusahaan. Hal ini untuk melindungi konsumen, jangan sampai perusahaan ini ternyata palsu.  Di Indonesia, pasal 10 UU ITE sudah mengamanatkan pembentukan lembaga sertifikasi keandalan. Bayangan saya, lembaga ini juga akan menilai kelayakan pelaku usaha transaksi elektronik. Sertifikasi kelayakan nantinya dikonkritkan dalam bentuk logo, disebut trust-mart. Konsumen tinggal melihat logo ini untuk menentukan layak atau tidaknya pelaku usaha dipercaya. Fungsi trust-mart ini penting sekali untuk membangun kepercayaan konsumen di internet.

 

Lembaga Sertifikasi Kelayakan atau LSK  tidak harus dipegang oleh pemerintah. Dapat diserahkan ke swasta, bahkan ke beberapa perusahaan agar terjadi kompetisi sehat yang akan menguntungkan konsumen. Setiap LSK belomba untuk menjadi lembaga sertifikasi andal sehingga konsumen mendapatkan jaminan yang benar.

 

Tapi kan Peraturan Pemerintahnya belum ada. Kita masih menunggu apakah Pemerintah bersedia untuk segera merealisasikan hal ini. Sudah dua tahun sejak 2008, lembaga ini belum dibentuk.

 

Sejauh mana pemahaman konsumen Indonesia tentang hal-hal yang berkaitan dengan transaksi elektronik?

Masih banyak konsumen yang hanya paham bahwa transaksi elektronik sebatas belanja di internet, klik sini klik sana, tanpa berusaha memahami syarat-syarat yang dibuat pelaku usaha.

Tags: