ICLA Sampaikan Keberatan atas RUU Persaingan Usaha
Utama

ICLA Sampaikan Keberatan atas RUU Persaingan Usaha

Salah satunya adalah mengenai wewenang KPPU dalam menangani perkara persaingan usaha tidak sehat.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

“Bukan dari para pihak (berkas). Jadi ketika kita hendak menguji bukti baru, kita ada hal lain, ada ahli lain untuk membuktikan putusan KPPU, itu tidak ada ruang. Kenapa dengan 45 harinya itu? Padahal di beberapa negara lain, putusan KPPU-nya bisa diuji secara menyeluruh, di Jerman seperti itu, di Jepang bahkan tiga tingkatan, ketika ada putusan KPPU ada tiga tingkat peradilan lainnya yang bisa menguji dan menguji dari nol lagi. Jadi sebenarnya sekarang kalau mau lihat best practice itu yang mana,” jelas Asep.

 

(Baca Juga: Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha)

 

Kemudian, Asep menegaskan tak masalah jika KPPU diberikan banyak kewenangan, asalkan KPPU tidak bertindak sebagai pemutus. Asep menginginkan KPPU dapat bertindak seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), yang memiliki kewenangan untuk menuntut tetapi putusan berada pada pihak ketiga atau pengadilan. Pasalnya, akan terlihat janggal jika KPPU sebagai pihak yang membuat aturan sendiri, menuntut dan kemudian memutus sendiri.

 

Poin penting dari kritik ICLA adalah posisi KPPU sebagai lembaga administrasi. Asep mengingatkan bahwa terdapat putusan Mahkamah Konstitusi No.85/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa KPPU adalah lembaga administratif yang berada dibawah naungan eksekutif. Artinya, perkara yang ditangani oleh KPPU adalah bersifat administratif, bukan perdata.

 

Hal tersebut didasari pada ranah persaingan usaha yang masuk ke dalam hukum publik, derajat pihak yang berperkara yang tidak seimbang yakni antara lembaga yang diberikan berbagai kewenangan dan warga negara, dan pembuktian yang bersifat materiil. Tiga hal ini, lanjut Asep, bertolak belakang dengan konsep hukum perdata di mana di dalam hukum perdata diatur bahwa dua pihak yang berperkara harus memiliki derajat yang sama dan pembuktian bersifat formiil.

 

Karena KPPU adalah lembaga admnistratif, maka sepatutnya keberatan atas putusan KPPU harus diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam konteks ini, Asep menilai PTUN harusnya memiliki kewenangan untuk mengkaji putusan KPPU baik substansinya maupun adanya dugaan penyalahgunaan atau terkait sah atau tidaknya pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh KPPU.

 

Bagaimana jika KPPU tetap memiliki kewenangan sebagai penuntut sekaligus pemutus? Bagi Asep, konsep ini bisa saja diterapkan dengan catatan UU Anti Monopoli harus memberikan ruang kepada pihak yang berperkara untuk melakukan uji putusan secara menyeluruh. Dan waktu yang diberikan untuk proses keberatan atas putusan KPPU adalah enam bulan sesuai standar di pengadilan, bukan 45 hari seperti yang disebutkan dalam draft RUU Anti Monopoli.

 

“Lebih ideal lagi misalnya KPPU mau minta banyak kewenangan silakan, tapi adalah sebagai penuntut. Jadi itu adalah pilihan yang ada, sekarang dia diberi kewenangan memutus tetapi ketika kita minta diberi kesempatan untuk menguji itu dipersulit, itu fakta UU saat ini dan RUU saat ini,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait