Hukuman Rekanan Chevron 'Dikorting'
Berita

Hukuman Rekanan Chevron 'Dikorting'

Jadi dua tahun penjara. Pengacara tetap ingin kliennya diputus bebas.

NOV
Bacaan 2 Menit

Berawal dari penandatangan kontrak PT CPI dan PT GPI tahun 2006 lalu. PT CPI dan PT GPI mendatangani kontrak pelaksanaan dasar-dasar pengoperasian, perawatan, dan pengelolaan untuk fasilitas bioremediasi tanah terkontaminasi Minyak (Soil Bioremediasi Facility-SBF) di beberapa lokasi Sumatera Light North (SLN).

Lingkup pekerjaan PT GPI diantaranya memisahkan tanah terkontaminasi yang memiliki Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) 3000-10000 mg/kg dari lokasi SBF. Majelis menilai pekerjaan PT GPI sebagai pekerjaan pengolahan limbah tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis dengan metode bioremediasi.

Namun, PT GPI tidak memiliki izin pengolahan limbah sebagaimana diwajibkan Pasal 3 Kepmen LH No 128 Tahun 2003, Pasal 40 ayat (1) huruf a PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya , serta Pasal 59 ayat (4) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kemudian, PT GPI juga menyalahi Kepmen LH No.128 Tahun 2003 karena mengolah tanah yang tidak terkontaminasi minyak. Kepmen LH mempersyaratkan konsentrasi maksimum TPH awal sebelum pengolahan biologis tidak lebih dari 15 persen. Nyatanya, berdasarkan hasil pengujian sampel tanah, diketahui TPH sama dengan nol persen.

Dengan demikian, perbuatan Ricksy yang melakukan kontrak kerja sama dengan PT CPI dianggap majelis sebagai perbuatan melawan hukum. PT CPI telah membayarkan biaya-biaya sejumlah AS$3,089 juta untuk pekerjaan bioremediasi kepada PT GPI, padahal kontrak yang dijalankan PT GPI tidak sah.

Biaya-biaya itu telah diperhitungkan BP Migas secara cost recovery, sehingga berdampak pada pengurangan pendapatan negara. Terlebih lagi, setelah sekian lama BP Migas tidak mengoreksi cost recovery tersebut. Sesuai penghitungan BPKP, kerugian keuangan negara mencapai AS$3,19 juta.

Tags:

Berita Terkait