Hukuman Rekanan Chevron 'Dikorting'
Berita

Hukuman Rekanan Chevron 'Dikorting'

Jadi dua tahun penjara. Pengacara tetap ingin kliennya diputus bebas.

NOV
Bacaan 2 Menit
Hukuman Rekanan Chevron 'Dikorting'
Hukumonline

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta atas nama terdakwa Ricksy Prematuri. Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) ini sebelumnya diputus lima tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Ahmad Sobari mengatakan, majelis banding mengadili sendiri perkara tersebut. Majelis tidak sependapat dengan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang menyatakan Ricksy terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair.

Majelis berpendapat perbuatan Ricksy memenuhi segala unsur dalam dakwaan subsidair. Sobari melanjutkan, majelis menyatakan Ricksy terbukti  melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan subsdair, Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 KUHP.

"Majelis menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp200 juta subsidair dua bulan kurungan. Majelis menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dengan masa pidana penjara. Majelis memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan," katanya, Senin (30/9).

Menanggapi putusan banding Ricksy, Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan telah merilis pernyataan Kepala Kejari Jakarta Selatan Teguh dalam situs resminya. Teguh mengungkapkan, penuntut umum telah menerima petikan putusan banding bernomor 30/PID/TPK/2013/PT.DKI tanggal 12 September 2013.

Menurut Teguh, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima permohonan banding penuntut umum maupun pengacara Ricksy. Hingga kini, penuntut umum masih menunggu salinan putusan untuk mempelajari pertimbangan majelis banding. Setelah itui, pihaknya baru akan menentukan langkah-langkah hukum selanjutnya.

Sementara, pengacara Ricksy, Otto Bismarck yang dihubungi hukumonline mengaku belum menerima petikan putusan banding kliennya. Ia baru akan meminta petikan putusan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Walau begitu, ia telah mendengar informasi kliennya dihukum dua tahun penjara di tingkat banding.

"Tapi, kami tetap berkeyakinan klien kami tidak bersalah. Kalaupun kita perhatikan fakta persidangan, seharusnya majelis berani membebaskan. Walau bagaimanapun, putusannya turun dari lima tahun ke dua tahun, kami syukuri. Itu bukan hasil yang kami harapkan, yang kami harapkan diputus bebas," ujarnya.

Atas dasar itu, menurut Otto, kemungkinan kliennya akan mengajukan kasasi. Ia menjelaskan, ketika mengajukan memori banding, pengacara mengungkap sejumlah kekeliruan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Majelis dianggap tidak memperhatikan fakta-fakta yang muncul di persidangan.

Misalnya, dalam hal PT GPI yang dinilai menyalahi aturan karena tidak memiliki izin pengolahan limbah dengan cara bioremediasi. Otto menerangkan, seluruh saksi di persidangan menyatakan PT GPI selaku kontraktor tidak memerlukan izin pengolahan B3. Izin diberikan kepada PT CPI sebagai penghasil limbah

"Dalam pekerjaan biremediasi itu kan ada pekerjaan-pekerjaan teknis, seperti mengangkut tanah dan mengaduk-aduk. Dalam pekerjaan bioremediasi, PT GPI hanya operator. PT GPI hanya mengerjakan pekerjaan sipilnya, sedangkan pekerjaan bioremediasinya sendiri dikerjakan oleh PT CPI," tuturnya.

Otto juga telah mengirim surat ke Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk meminta penjelasan, apakah kontraktor wajib memiliki izin pengolahan limbah dalam pekerjaan bioremediasi. KLH menjawab secara tertulis, kontraktor tidak wajib memiliki izin karena izin sudah diberikan kepada PT CPI.

Selain itu, Otto mempermasalahkan ahli Edison Effendi yang tidak independen. Edison diketahui pernah menjadi wakil dari perusahaan yang kalah tender proyek bioremediasi. "Belum lagi soal pengujuan sampel yang tidak menggunakan laboratorium lingkungan dan sampel yang sudah kadaluarsa," imbuhnya.

Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Ricksy dengan pidana penjara selama lima tahun pada 7 Mei 2013 karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 KUHP. Putusan diambil dengan suara terbanyak karena satu hakim menyatakan perbedaan pendapat.

Berawal dari penandatangan kontrak PT CPI dan PT GPI tahun 2006 lalu. PT CPI dan PT GPI mendatangani kontrak pelaksanaan dasar-dasar pengoperasian, perawatan, dan pengelolaan untuk fasilitas bioremediasi tanah terkontaminasi Minyak (Soil Bioremediasi Facility-SBF) di beberapa lokasi Sumatera Light North (SLN).

Lingkup pekerjaan PT GPI diantaranya memisahkan tanah terkontaminasi yang memiliki Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) 3000-10000 mg/kg dari lokasi SBF. Majelis menilai pekerjaan PT GPI sebagai pekerjaan pengolahan limbah tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis dengan metode bioremediasi.

Namun, PT GPI tidak memiliki izin pengolahan limbah sebagaimana diwajibkan Pasal 3 Kepmen LH No 128 Tahun 2003, Pasal 40 ayat (1) huruf a PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya , serta Pasal 59 ayat (4) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kemudian, PT GPI juga menyalahi Kepmen LH No.128 Tahun 2003 karena mengolah tanah yang tidak terkontaminasi minyak. Kepmen LH mempersyaratkan konsentrasi maksimum TPH awal sebelum pengolahan biologis tidak lebih dari 15 persen. Nyatanya, berdasarkan hasil pengujian sampel tanah, diketahui TPH sama dengan nol persen.

Dengan demikian, perbuatan Ricksy yang melakukan kontrak kerja sama dengan PT CPI dianggap majelis sebagai perbuatan melawan hukum. PT CPI telah membayarkan biaya-biaya sejumlah AS$3,089 juta untuk pekerjaan bioremediasi kepada PT GPI, padahal kontrak yang dijalankan PT GPI tidak sah.

Biaya-biaya itu telah diperhitungkan BP Migas secara cost recovery, sehingga berdampak pada pengurangan pendapatan negara. Terlebih lagi, setelah sekian lama BP Migas tidak mengoreksi cost recovery tersebut. Sesuai penghitungan BPKP, kerugian keuangan negara mencapai AS$3,19 juta.

Tags:

Berita Terkait