Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi (II)
Kolom

Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi (II)

Dalam tiga dekade terakhir ini, konflik kepentingan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju telah terpusat pada masalah perdagangan antarnegara. Konflik ini dipicu oleh pandangan yang berbeda antara negara berkembang dan negara maju.

Bacaan 2 Menit

Perancang dan negosiator perjanjian internasional yang handal: tantangan bagi pendidikan hukum di Indonesia

Untuk memperkuat negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam mengubah wajah hukum internasional maka diperlukan perancang dan negosiator yang handal. Kelihaian para juru runding dan perancang tidak bisa lain selain dihadapi dengan kelihaian pula.

Kelihaian di sini memegang peran yang penting mengingat dalam alam pikiran CLS, "Law is not, of couse uniquely the tool of the powerful. Everyone invokes the authority of law in everyday interactions, and the con­tent of laws registers many concessions to groups struggling for change from below, as well as to the wishes of the politically and economically dominant. But to be able to wield legal discourses with facility and authority or to pay others (lawyers, legislatiors, lobbyists, etc.) to wield them on your behalf is a large part of what it means to possess power in society."

Oleh karenanya, pendidikan hukum di Indonesia perlu dirancang untuk menghasilkan para sarjana hukum yang tidak saja paham dalam masalah teori, tetapi mampu mempraktekkan pengetahuan mereka. Kelemahan para juru runding dan perancang perjanjian internasional dari Indonesia adalah kelihaian untuk melakukan perundingan dan perancangan itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari luar negeri, jelas mereka jauh tertinggal. Di sinilah arti penting memotivasi dan menekankan pada para mahasiswa untuk memiliki kelihaian yang dibutuhkan.

Selanjutnya, kurikulum pendidikan hukum di Indonesia harus diorientasikan untuk menghasilkan sarjana hukum yang memiliki percaya diri yang tinggi. Pengajar harus meninggalkan proses belajar mengajar dengan metode hapalan dan menggantinya dengan metode legal reasoning yang didasarkan pada penelitian. Dari pengalaman saya mengajar perancangan kontrak, sungguh sangat memprihatinkan lulusan sarjana hukum dalam menerapkan ilmunya ke dalam pembuatan kontrak. Mereka kurang mampu dalam menerapkan ilmu yang didapat di bangku kuliah, apalagi melakukan riset sebelum kontrak dibuat.

Lebih lanjut saya ingin menekankan pentingnya penguasaan Bahasa Inggris. Bagi para mahasiswa, Bahasa Inggris merupakan suatu keharusan. Penguasaan Bahasa Inggris dewasa ini tidak cukup sekadar digunakan untuk membuka wawasan, tetapi harus sudah berada dalam tahap digunakan untuk mengartikulasi pendapat dalam bernegosiasi dan membuat perjanjian internasional. Penguasaan Bahasa Inggris yang demikian bukan hal yang mustahil. Dengan adanya kemajuan teknologi, seperti satelit dan internet, para mahasiswa dapat membiasakan diri untuk menggunakan Bahasa Inggris layaknya native speaker.

Peran univerisitas dan fakultas adalah memfasilitasi para mahasiswa agar diberi kesempatan dalam menggunakan Bahasa Inggris yang mereka kuasai. Contohnya adalah apa yang telah dirintis oleh Fakultas Hukum UI dengan mengadakan kuliah bersama melalui video conferencing dengan University of South Carolina di Amerika Serikat. Fakultas Hukum UI juga telah merintis dan kemudian menjadikannya kegiatan tetap untuk mengirim mahasiswa ke forum-forum kompetisi peradilan semu (moot court competition) di luar negeri. Para mahasiswa sudah tiga kali berpartisipasi dalam Asia Cup di Jepang dan satu kali mengikuti Phillip Jessup Moot Court Competition di Amerika Serikat.

Tags: