Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi (II)
Kolom

Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi (II)

Dalam tiga dekade terakhir ini, konflik kepentingan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju telah terpusat pada masalah perdagangan antarnegara. Konflik ini dipicu oleh pandangan yang berbeda antara negara berkembang dan negara maju.

Bacaan 2 Menit

Untuk mencapai tujuan ini, tidak segan-­segan MNC mengancam akan memindahkan usaha mereka. Bahkan, MNC dapat mempengaruhi pemerintah negaranya, termasuk juga lembaga-lembaga internasional, untuk melakukan suatu tindakan terhadap pemerintah negara berkembang yang merugikan mereka. Di samping itu, MNC dapat meminta pemerintahnya untuk mem­perjuangkan kepentingan mereka dalam forum internasional. Salah satunya adalah dalam pembentukan perjanjian internasional.

Perjanjian internasional yang dibuat untuk melindungi kepentingan MNC dapat dikelompokan paling tidak menjadi tiga kategori. Pertama, perjanjian-perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi MNC dari tindakan sepihak pemerintah setempat. Selanjutnya, perjanjian-­perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi produk, termasuk hak atas kekayaan intelektual, yang dihasilkan oleh MNC.  Ketiga, perjanjian-perjanjian internasional yang memberi jalan keluar (remedy) bagi perselisihan yang terjadi antara MNC dengan pemerintah negara berkembang.

Menghadapi kekuatan besar yang dimiliki oleh MNC, negara berkembang telah lama mengupayakan agar hukum internasional dapat membatasi aktivitas MNC. Hasil maksimal yang dapat dicapai oleh negara berkembang adalah pembentukan UN-Draft Code of Con­duct on Transnational Corporations (selanjutnya disebut "Code of Conduct"). Code of Conduct hingga sekarang tidak pernah di­tetapkan menjadi resolusi PBB, apalagi perjanjian internasional.

Oleh karenanya saya berpendapat, negara berkembang mengalami kegagalan dalam usahanya membatasi kegiatan MNC. Ada paling tidak empat alasan mengapa demikian. Pertama, bagaimanapun tidak disukai kegiatan yang dilakukan oleh MNC, negara berkembang membutuhkan kehadirannya, baik dalam rangka pemasukan devisa, alih teknologi, penyerapan tenaga kerja dan lain-lain.

Kedua, pembatasan aktivitas MNC bukan sekadar perdebatan dalam tataran konsep, melainkan harus berhadapan dengan kenyataan dan praktek yang sudah lama terbentuk. Ketiga, dengan kekuatan yang dimiliki oleh MNC, mereka dapat memastikan bahwa ide untuk membatasi mereka akan gagal. Terakhir, suka atau tidak suka, krisis ekonomi yang melanda berbagai negara di Asia dan resesi ekonomi dunia, membuat ketergantungan negara berkembang terhadap MNC semakin tinggi.

Upaya negara berkembang untuk membatasi gerak MNC telah menggunakan metode trashing, deconstruction, dan geneality. Negara berkembang melakukan trashing terhadap asumsi negara maju bahwa negara berkembang melakukan tindakan sepihak terhadap kepentingan MNC. Pertanyaannya, apakah memang negara berkembang melakukan tindakan sepihak secara semena-mena? Negara berkembang merasa bahwa tindakan sepihak dilakukan karena ada kebutuhan yang mendasar untuk itu. Tanpa tindakan sepihak, negara berkembang sudah sepantasnya mendapat perlindungan hukum internasional dari aktivitas dan tindakan MNC.

Demikianlah telah saya utarakan bagaimana eksistensi hukum internasional dalam konflik kepentingan antara negara berkembang dan negara maju. Kalau di permulaan pidato ini saya kemukakan pengelompokan negara berkembang dan negara maju, saat ini saya ingin mengatakan bahwa negara yang masuk dalam kelompok negara berkembang apabila kelak masuk dalam kelompok negara maju, maka negara tersebut akan menghadapi pilihan yang dilematis. Apakah negara tersebut akan bertindak sebagaimana layaknya negara maju atau memperjuangkan idealisme semasa negara tersebut masih menjadi negara berkembang. Biarlah waktu yang menjawabnya.

Tags: