Sampai di sini, menarik untuk dikemukakan pernyataan dari advokat senior Denny Kailimang mengenai lembaga bantuan hukum (LBH) Amanna Gappa yang ia kelola. Denny mengatakan bahwa LBH tersebut diisi oleh advokat-advokat muda untuk menangani perkara pro bono. Sedangkan di kantornya sendiri, Lontoh & Kailimang, Denny mengaku sangat jarang menerima perkara-perkara pro bono. "(Jumlahnya) kecil," ucapnya.
Sementara itu, beberapa advokat yang diwawancarai hukumonline mengatakan bahwa mereka tidak membeda-bedakan treatment dan kualitas penanganan antara perkara yang mendatangkan income ataupun yang cuma-cuma. Namun, beberapa diantaranya berpendapat bahwa pemerintah perlu segera mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai tata cara pemberian bantuan hukum cuma-cuma sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 22 ayat (2) UU No.18/2003.
Bagaimanapun, diskriminasi terhadap perkara pro bono jelas sesuatu yang "haram" buat advokat. Bila melakukannya demi mengejar popularitas semata itupun sama buruknya. Perlakuan yang demikian rupa berarti mengaburkan hakikat daripada bantuan hukum bagi rakyat yang tidak mampu. Hal itu juga bertentangan dengan ketentuan sekaligus jiwa dari UU Advokat: "Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras atau latar belakang sosial dan budaya". Pada sisi inilah, kehormatan dan kemuliaan profesi advokat menjadi taruhannya. (Amrie Hakim)
No | Alasan Responden | Distribusi Sampel (%) |
1 | Mampu membayar jasa advokat | 29,3 |
2 | Tidak percaya kualitas bantuan hukum | 18,5 |
3 | Tidak ada kesempatan | 13,8 |
4 | Tidak tahu tentang bantuan hukum | 11,2 |
5 | Lainnya | 2,3 |
6 | Tidak menjawab | 1,4 |
| Jumlah | 76,5 |