Gulali dan Duri Bantuan Hukum Pro bono
Berita

Gulali dan Duri Bantuan Hukum Pro bono

Di zaman di mana segala sesuatu ada harganya, pemberian jasa hukum gratis ibarat duri yang bisa mengoyak kocek advokat. Di sisi lain, pemberian bantuan hukum cuma-cuma bisa pula terasa manis bak gulali saat membawa advokat ke puncak popularitas.

Bacaan 2 Menit

 

Semenjak UU No.18/2003 disahkan, pemberian bantuan hukum pro bono bukan lagi menjadi hal yang menyangkut etika ataupun kesukarelaan tiap advokat, namun merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU No.18/2003 dengan tegas menyatakan bahwa, "Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu".

 

Melihat dari rumusannya, setidaknya ada dua unsur yang terkandung dalam Pasal 22 ayat (1) UU No.18/2003 tersebut yaitu "secara cuma-cuma" dan "kepada pencari keadilan yang tidak mampu". Dalam prakteknya selama ini, tiap advokat memiliki penafsiran masing-masing mengenai bantuan hukum cuma-cuma. Karena ditafsirkan berbeda-beda, otomatis bentuk bantuan hukum pro bono yang diberikanpun berbeda-beda dari satu advokat dengan advokat lain.

 

Cuma buat orang dekat

Salah satu versi penafsiran bantuan hukum pro bono adalah seperti yang dipraktekkan oleh Frans Hendra Winarta. Secara terus terang, pendiri kantor hukum Frans Winarta & Partners ini mengatakan bahwa selama ini memberikan bantuan hukum pro bono hanya bagi orang-orang terdekatnya seperti kerabat atau saudara dekat dan bahkan kenalan. Tapi, sebagian masyarakat agaknya belum lupa ketika Frans "menyelamatkan" Saliddin Muhammad, seorang TKI yang bukan anggota keluarganya, dari tiang gantungan pemerintah Malaysia pada tahun 1992.

 

Sementara, David Tobing mengaku pemberian bantuan hukum gratisnya ia tujukan untuk kasus-kasus sengketa konsumen dengan produsen atau pemberi jasa. Advokat pada kantor Adams & Co ini mengatakan bahwa sepertiga porsi kerja kantornya disediakan untuk bantuan hukum terutama yang menyangkut perlindungan konsumen.

 

Kantor David rupanya tidak kalah selektifnya dengan kantor Frans. "Sebisa mungkin (perkara) itu tidak menyangkut hal-hal yang kriminal, dan sebisa mungkin tidak melawan negara atau instansi pemerintah. Itu tidak," jelas David yang beberapa kali menjadi pengacara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

 

Jika bentuk bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan Frans dan David berupa membela kliennya langsung di muka pengadilan, lain lagi dengan yang diterapkan oleh Fifi Lety Indra. "Sebenarnya memberikan bantuan hukum gratis itu dengan berbagai macam cara, misalnya dengan memberikan konsultasi gratis," ujar pemilik kantor Fifi Lety Indra & Partner ini.

 

Bantuan hukum yang diberikan Fifi berwujud rubrik konsultasi hukum dan politik gratis seminggu sekali di harian Bangka Pos dan harian Belitung Pos. Menurut Fifi, kegiatannya memberikan konsultasi hukum dan politik secara gratis di dua harian milik grup Kompas tersebut sudah dijalani selama setahun terakhir. Selaku advokat yang bergerak di ranah corporate law, ia memang tak banyak menangani perkara pro bono. Porsinya, kata Fifi, tak lebih dari 20 persen. Sedangkan sisanya, tambah pengacara yang pernah membela pengelola Secure Parking ini, merupakan jasa hukum yang menghasilkan income bagi kantornya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: