Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?
Kolom

Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?

Perlindungan terhadap para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase sebaiknya tidak berupa pembatalan, sebab akan menghapuskan karakteristik final-binding dan kerahasiaan-kecepatan.

Bacaan 6 Menit

Setelah permohonan tersebut dimasukkan, putusan pembatalan harus dibacakan paling lama 30 hari lagi pasca dimasukkannya permohonan pembatalan. Bilamana hasilnya tidak memuaskan bagi termohon, termohon dapat mengajukannya lagi ke Mahkamah Agung dengan pembacaan putusan paling lama 30 hari pasca permohonan banding tersebut diterima. Bilamana kita menggunakan jangka waktu maksimal, berarti perkara ini baru bisa dapat dikatakan selesai 90 hari atau tiga bulan pasca dibacakannya putusan arbitrase. Kelambatan ini dalam dunia usaha tentu merupakan hal yang sangat signifikan bagi kelangsungan usahanya.

Bilamana kepastian hukum yang serta-merta dapat tercipta saat putusan arbitrase dijatuhkan, kelambatan 90 hari tersebut tidak perlu terjadi. Tidak hanya itu saja, pembatalan mengakibatkan kekosongan hukum atas penyelesaian sengketa tersebut. Dengan adanya pembatalan, berarti para pihak yang bersengketa harus memeriksa perkaranya kembali baik itu melalui lembaga arbitrase dari awal atau lembaga peradilan umum.

Di samping itu, ketika permohonan pembatalan diperiksa di Pengadilan Negeri, unsur kerahasiaan sengketa tersebut menjadi hilang. Dalam aturan beracara di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, semua sidang dan putusan harus bersifat terbuka untuk umum kecuali kasus-kasus yang spesifik dan bukan persoalan sengketa bisnis. Padahal, menjaga reputasi adalah aspek yang harus dijaga dalam sebuah persengketaan. Dengan telah diketahuinya oleh publik bahwa sebuah perusahaan terlibat dalam sengketa hukum, reputasi tersebut pun berpotensi besar akan terganggu.

Persoalan 3: Terkait Kedudukan Arbitrase sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Dengan eksistensi Pasal 70, hubungan hierarkis antara badan peradilan dengan lembaga arbitrase menjadi ada. Sebab, dengan adanya Pasal 70, proses penyelesaian sengketa menjadi masuk ke dalam kekuasaan kehakiman, yang dalam hal ini merupakan kelanjutan dari proses arbitrase sebelumnya. Terlebih, putusan arbitrase dapat dibatalkan oleh putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Legitimasi kewenangan untuk membatalkan dapat dilihat dari dua dasar. Dasarnya bisa berasal dari adanya hubungan hierarkis antara lembaga-lembaga tersebut atau hubungan hierarkis antara produk-produk hukumnya. Sebagaimana dalam peradilan umum, seseorang yang hendak melakukan upaya keberatan atas suatu putusan pengadilan dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi serta Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas dasar adanya hubungan hierarkis antara Mahkamah Agung dengan lembaga-lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Sementara dalam konteks yang kedua adalah seperti permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Dalam konteks arbitrase, yang terjadi adalah dasar pertama, sehingga mengakibatkan seolah-olah adanya hubungan hierarkis antara majelis arbitrase dan Peradilan Umum.

Dengan kata lain, lembaga-lembaga arbitrase sudah tidak ‘sepenuhnya’ lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lebih tepatnya, lembaga arbitrase adalah lembaga penyelesaian sengketa yang tidak ‘murni’ di luar pengadilan. Yang awalnya para pihak yang bersengketa harapannya menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan beragam komplikasinya, justru harapan tersebut terseret kembali ke dalam komplikasi-komplikasi tersebut.

Penutup

Pada dasarnya, eksistensi mekanisme pembatalan dalam sistem arbitrase di Indonesia perlu dipertanyakan kembali. Untuk saat ini, perlindungan terhadap para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase sebaiknya tidak berupa pembatalan. Sebab, pembatalan hanya akan menghapuskan karakteristik final-binding dan kerahasiaan-kecepatan.

Perlindungan mengenai kualitas, objektivitas, dan kebenaran atas suatu putusan arbitrase tetap menjadi perhatian utama dari BANI melalui Peraturan dan Prosedur yang terus disempurnakan. Adapun salah satu bentuknya adalah hak ingkar yakni sebuah proses yang dapat diajukan di “tengah” penyelesaian persengketaan – bukan di “akhir”. Terlebih, bilamana sedari awal setiap pihak telah beriktikad baik dalam proses penyelesaian sengketa, persoalan kekeliruan formil yang menjadi alasan pembatalan tidak akan terjadi.

*)Anangga W. Roosdiono adalah Ketua BANI Arbitration Centre serta Corporate Lawyer Senior dan Muhamad Dzadit Taqwa adalah Dosen Hukum dalam Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait