Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?
Kolom

Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?

Perlindungan terhadap para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase sebaiknya tidak berupa pembatalan, sebab akan menghapuskan karakteristik final-binding dan kerahasiaan-kecepatan.

Bacaan 6 Menit

Secara umum, model-model peninjauan kembali adalah bentuk perlindungan terhadap kesalahan yang mungkin dilakukan tidak hanya terbatas pada si pembuat produk hukum tersebut tetapi juga pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Terhadap pembuat produk hukum, aksioma dasarnya adalah bahwa tiada manusia yang sempurna, sehingga diperlukan adanya evaluasi terhadap suatu putusan atau produk hukum yang barangkali keliru. Terbukti, memang pada realitasnya, begitu banyak produk hukum, baik itu putusan atau legislasi yang dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga yang berwenang untuk meninjaunya.

Dalam konteks arbitrase, upaya demikian merupakan bentuk perlindungan terhadap pihak yang diembankan tanggung jawab/klaim dari bentuk kekeliruan baik yang secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh pihak lawan dan/atau majelis arbitrase. Dalam konteks para pihak yang bersengketa, kecurangan sangat mungkin terjadi bilamana prinsip itikad baik tidak dipegang. Tidak menutup kemungkinan pula, kecurangan tersebut pun juga diakomodir oleh majelis arbitrase. Kemungkinan-kemungkinan ini yang akhirnya membuat diperlukannya suatu upaya peninjauan ulang dalam aspek formil putusan.

Meskipun demikian, pada akhirnya, upaya peninjauan kembali produk hukum tersebut harus ada ujungnya. Sebab, bilamana tidak demikian, justru yang timbul adalah ketidakpastian hukum. Dalam konteks yang telah disebutkan sebelumnya, Mahkamah Agung adalah lembaga terakhir yang akan menguji ulang suatu putusan dalam lingkungan kekuasaannya, sehingga putusannya dinamakan bersifat serta-merta dan mengikat atau in kracht van gewijsde. Begitupun dalam lingkungan kekuasaan Mahkamah Konstitusi, permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 berhenti di Mahkamah Konstitusi terlepas dari apakah hasilnya memuaskan pemohon atau tidak.

Persoalan 1: Oksimoron antara Pembatalan dan Sifat Final-Binding Putusan Arbitrase

Satu implikasi utama dari adanya Pasal 70 tersebut adalah tidak berlakunya lagi karakteristik serta-merta (final) dalam putusan arbitrase. Dengan kata lain, putusan arbitrase memiliki konsekuensi hukum yang mengikat bagi para pihak yang bersengketa, tetapi tidak serta-merta (binding but not final).

Sebab, upaya pembatalan memungkinkan putusan arbitrase tersebut untuk diperiksa kembali oleh lembaga lain, yakni Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Bilamana Pengadilan Negeri memutuskan bahwa suatu putusan arbitrase tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, pada saat itu putusan tersebut menjadi batal. Terlebih, putusan tersebut langsung bersifat in kracht van gewijsde bilamana diputuskan sama oleh Mahkamah Agung.

Hal ini tentu bukan hanya dalam tataran logis normatif, melainkan juga terjadi dalam realitasnya. Satu contoh sengketa yang perlu disampaikan di sini – terlebih beberapa sengketa tersebut telah menjadi terbuka untuk umum – adalah perkara PT. CETT melawan YA, dimana Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas pembatalan yang diajukan oleh Termohon Arbitrase, melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 03/Arb.Btl/2005. Walaupun secara data jumlah putusan pembatalan yang diajukan tidak banyak yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung, tetap saja berarti ada kemungkinan putusan arbitrase tidak lagi secara konsisten dapat bersifat serta-merta.

Persoalan 2: Hilangnya Kelebihan-Kelebihan dalam Arbitrase

Konsekuensi lanjutan dari ‘tabrakan’ antara Pasal 60 dan Pasal 70 adalah bahwa unsur kecepatan, sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan UU a quo, tidak dapat dipertahankan lagi. Sebab, bilamana upaya pembatalan diajukan, termohon arbitrase memiliki alasan untuk menunda eksekusi. Terlebih, jangka waktu maksimal permohonan pembatalan adalah 30 hari pasca dibacakannya putusan oleh para arbiter.

Tags:

Berita Terkait