Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?
Kolom

Eksistensi Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional di Indonesia: Oksimoron?

Perlindungan terhadap para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase sebaiknya tidak berupa pembatalan, sebab akan menghapuskan karakteristik final-binding dan kerahasiaan-kecepatan.

Bacaan 6 Menit
Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa
Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa

Berdasarkan data yang direkap oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sampai tahun 2021 akhir, hampir setiap sengketa yang telah diselesaikan melalui BANI, ada pihak yang mengajukan upaya pembatalan. Dalam banyak upaya tersebut, alasan yang paling umum adalah adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh majelis arbitrase dengan pihak lawannya. Ada putusan yang diterima pembatalannya oleh Pengadilan Negeri dan juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung dan ada juga yang sedari awal ditolak oleh Pengadilan Negeri.

Di satu sisi, upaya peninjauan atas aspek formil dalam putusan arbitrase ini dibutuhkan sebagai mekanisme perlindungan terhadap pihak yang dicurangi dalam proses berarbitrase. Di sisi lain, eksistensi upaya tersebut menimbulkan implikasi-implikasi bagi Badan Arbitrase dan bahkan arbitrase itu sendiri, yakni: perlu dipertanyakannya sifat serta-merta (final) dan mengikat (binding) dari sebuah putusan arbitrase (Pasal 60 UU 30/1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase)); hilangnya kelebihan-kelebihan dalam berarbitrase, yakni aspek kerahasiaan dan kecepatan (Penjelasan Umum UU Arbitrase); dan perlu dipertanyakannya status arbitrase sebagai proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Apakah upaya pembatalan masih harus dipertahankan eksistensinya?

Baca juga:

Dasar Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional

Ada dua pandangan di Indonesia terkait dasar pembatalan. Pandangan pertama merujuk secara tekstual pada ketentuan yang ada di dalam Pasal 70 UU Arbitrase, dimana secara limitatif – karena digunakannya term “sebagai berikut” – ditentukan adanya tiga dasar pembatalan: dokumen yang palsu, dokumen yang disembunyikan, dan tipu muslihat (Pasal 70 UU Arbitrase).

Sementara pandangan kedua memperhatikan Penjelasan Umum UU Arbitrase yang menggunakan term “antara lain” atau inter-alia sebagai dasar untuk mengatakan bahwa dasar pembatalan tidak hanya disempitkan pada tiga hal yang disebutkan dalam Pasal 70 UU Arbitrase, sehingga tidak ada batasan yang definitif, dan pandangan ini menjadikan dasar pembatalan tidak terbatas pada aspek formil (Penjelasan Umum Alinea ke-18 UU Arbitrase).

Keduanya dapat diperhatikan dari berbagai putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, dimana masing-masing pandangan ada yang menerapkannya. Meskipun demikian, ketentuan yang ada di dalam Batang Tubuh merupakan ketentuan yang mengikat, bila dibandingkan dengan Penjelasan, dan rezim normatif yang harus ditaati oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, sehingga dasar pembatalan hanya mencakup aspek formil pembuktian dalam berarbitrase.

Raison d’etre Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional

Dalam UU Arbitrase, tidak disebutkan mengapa upaya pembatalan diadakan dalam sistem arbitrase di Indonesia. Sebagai sebuah mekanisme yang cukup mirip – walaupun terfokus pada aspek formil putusan – dengan bentuk peninjauan kembali suatu produk hukum, kami melihat ada kesamaan alasan eksistensi di antara keduanya.

Secara umum, model-model peninjauan kembali adalah bentuk perlindungan terhadap kesalahan yang mungkin dilakukan tidak hanya terbatas pada si pembuat produk hukum tersebut tetapi juga pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Terhadap pembuat produk hukum, aksioma dasarnya adalah bahwa tiada manusia yang sempurna, sehingga diperlukan adanya evaluasi terhadap suatu putusan atau produk hukum yang barangkali keliru. Terbukti, memang pada realitasnya, begitu banyak produk hukum, baik itu putusan atau legislasi yang dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga yang berwenang untuk meninjaunya.

Dalam konteks arbitrase, upaya demikian merupakan bentuk perlindungan terhadap pihak yang diembankan tanggung jawab/klaim dari bentuk kekeliruan baik yang secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh pihak lawan dan/atau majelis arbitrase. Dalam konteks para pihak yang bersengketa, kecurangan sangat mungkin terjadi bilamana prinsip itikad baik tidak dipegang. Tidak menutup kemungkinan pula, kecurangan tersebut pun juga diakomodir oleh majelis arbitrase. Kemungkinan-kemungkinan ini yang akhirnya membuat diperlukannya suatu upaya peninjauan ulang dalam aspek formil putusan.

Meskipun demikian, pada akhirnya, upaya peninjauan kembali produk hukum tersebut harus ada ujungnya. Sebab, bilamana tidak demikian, justru yang timbul adalah ketidakpastian hukum. Dalam konteks yang telah disebutkan sebelumnya, Mahkamah Agung adalah lembaga terakhir yang akan menguji ulang suatu putusan dalam lingkungan kekuasaannya, sehingga putusannya dinamakan bersifat serta-merta dan mengikat atau in kracht van gewijsde. Begitupun dalam lingkungan kekuasaan Mahkamah Konstitusi, permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 berhenti di Mahkamah Konstitusi terlepas dari apakah hasilnya memuaskan pemohon atau tidak.

Persoalan 1: Oksimoron antara Pembatalan dan Sifat Final-Binding Putusan Arbitrase

Satu implikasi utama dari adanya Pasal 70 tersebut adalah tidak berlakunya lagi karakteristik serta-merta (final) dalam putusan arbitrase. Dengan kata lain, putusan arbitrase memiliki konsekuensi hukum yang mengikat bagi para pihak yang bersengketa, tetapi tidak serta-merta (binding but not final).

Sebab, upaya pembatalan memungkinkan putusan arbitrase tersebut untuk diperiksa kembali oleh lembaga lain, yakni Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Bilamana Pengadilan Negeri memutuskan bahwa suatu putusan arbitrase tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, pada saat itu putusan tersebut menjadi batal. Terlebih, putusan tersebut langsung bersifat in kracht van gewijsde bilamana diputuskan sama oleh Mahkamah Agung.

Hal ini tentu bukan hanya dalam tataran logis normatif, melainkan juga terjadi dalam realitasnya. Satu contoh sengketa yang perlu disampaikan di sini – terlebih beberapa sengketa tersebut telah menjadi terbuka untuk umum – adalah perkara PT. CETT melawan YA, dimana Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas pembatalan yang diajukan oleh Termohon Arbitrase, melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 03/Arb.Btl/2005. Walaupun secara data jumlah putusan pembatalan yang diajukan tidak banyak yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung, tetap saja berarti ada kemungkinan putusan arbitrase tidak lagi secara konsisten dapat bersifat serta-merta.

Persoalan 2: Hilangnya Kelebihan-Kelebihan dalam Arbitrase

Konsekuensi lanjutan dari ‘tabrakan’ antara Pasal 60 dan Pasal 70 adalah bahwa unsur kecepatan, sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan UU a quo, tidak dapat dipertahankan lagi. Sebab, bilamana upaya pembatalan diajukan, termohon arbitrase memiliki alasan untuk menunda eksekusi. Terlebih, jangka waktu maksimal permohonan pembatalan adalah 30 hari pasca dibacakannya putusan oleh para arbiter.

Setelah permohonan tersebut dimasukkan, putusan pembatalan harus dibacakan paling lama 30 hari lagi pasca dimasukkannya permohonan pembatalan. Bilamana hasilnya tidak memuaskan bagi termohon, termohon dapat mengajukannya lagi ke Mahkamah Agung dengan pembacaan putusan paling lama 30 hari pasca permohonan banding tersebut diterima. Bilamana kita menggunakan jangka waktu maksimal, berarti perkara ini baru bisa dapat dikatakan selesai 90 hari atau tiga bulan pasca dibacakannya putusan arbitrase. Kelambatan ini dalam dunia usaha tentu merupakan hal yang sangat signifikan bagi kelangsungan usahanya.

Bilamana kepastian hukum yang serta-merta dapat tercipta saat putusan arbitrase dijatuhkan, kelambatan 90 hari tersebut tidak perlu terjadi. Tidak hanya itu saja, pembatalan mengakibatkan kekosongan hukum atas penyelesaian sengketa tersebut. Dengan adanya pembatalan, berarti para pihak yang bersengketa harus memeriksa perkaranya kembali baik itu melalui lembaga arbitrase dari awal atau lembaga peradilan umum.

Di samping itu, ketika permohonan pembatalan diperiksa di Pengadilan Negeri, unsur kerahasiaan sengketa tersebut menjadi hilang. Dalam aturan beracara di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, semua sidang dan putusan harus bersifat terbuka untuk umum kecuali kasus-kasus yang spesifik dan bukan persoalan sengketa bisnis. Padahal, menjaga reputasi adalah aspek yang harus dijaga dalam sebuah persengketaan. Dengan telah diketahuinya oleh publik bahwa sebuah perusahaan terlibat dalam sengketa hukum, reputasi tersebut pun berpotensi besar akan terganggu.

Persoalan 3: Terkait Kedudukan Arbitrase sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Dengan eksistensi Pasal 70, hubungan hierarkis antara badan peradilan dengan lembaga arbitrase menjadi ada. Sebab, dengan adanya Pasal 70, proses penyelesaian sengketa menjadi masuk ke dalam kekuasaan kehakiman, yang dalam hal ini merupakan kelanjutan dari proses arbitrase sebelumnya. Terlebih, putusan arbitrase dapat dibatalkan oleh putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Legitimasi kewenangan untuk membatalkan dapat dilihat dari dua dasar. Dasarnya bisa berasal dari adanya hubungan hierarkis antara lembaga-lembaga tersebut atau hubungan hierarkis antara produk-produk hukumnya. Sebagaimana dalam peradilan umum, seseorang yang hendak melakukan upaya keberatan atas suatu putusan pengadilan dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi serta Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas dasar adanya hubungan hierarkis antara Mahkamah Agung dengan lembaga-lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Sementara dalam konteks yang kedua adalah seperti permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945. Dalam konteks arbitrase, yang terjadi adalah dasar pertama, sehingga mengakibatkan seolah-olah adanya hubungan hierarkis antara majelis arbitrase dan Peradilan Umum.

Dengan kata lain, lembaga-lembaga arbitrase sudah tidak ‘sepenuhnya’ lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lebih tepatnya, lembaga arbitrase adalah lembaga penyelesaian sengketa yang tidak ‘murni’ di luar pengadilan. Yang awalnya para pihak yang bersengketa harapannya menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan beragam komplikasinya, justru harapan tersebut terseret kembali ke dalam komplikasi-komplikasi tersebut.

Penutup

Pada dasarnya, eksistensi mekanisme pembatalan dalam sistem arbitrase di Indonesia perlu dipertanyakan kembali. Untuk saat ini, perlindungan terhadap para pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase sebaiknya tidak berupa pembatalan. Sebab, pembatalan hanya akan menghapuskan karakteristik final-binding dan kerahasiaan-kecepatan.

Perlindungan mengenai kualitas, objektivitas, dan kebenaran atas suatu putusan arbitrase tetap menjadi perhatian utama dari BANI melalui Peraturan dan Prosedur yang terus disempurnakan. Adapun salah satu bentuknya adalah hak ingkar yakni sebuah proses yang dapat diajukan di “tengah” penyelesaian persengketaan – bukan di “akhir”. Terlebih, bilamana sedari awal setiap pihak telah beriktikad baik dalam proses penyelesaian sengketa, persoalan kekeliruan formil yang menjadi alasan pembatalan tidak akan terjadi.

*)Anangga W. Roosdiono adalah Ketua BANI Arbitration Centre serta Corporate Lawyer Senior dan Muhamad Dzadit Taqwa adalah Dosen Hukum dalam Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait