DPD: Jual-beli Tanah Itu Melanggar Hukum
Kasus Lapindo

DPD: Jual-beli Tanah Itu Melanggar Hukum

Pansus Lapindo DPD menilai jual-beli tanah Lapindo dengan warga korban semburan lumpur tidak sah. Sementara itu masa tugas Timnas Lapindo hampir rampung. Sejumlah masalah masih menggunung.

Ycb
Bacaan 2 Menit
DPD: Jual-beli Tanah Itu Melanggar Hukum
Hukumonline

 

Masalah justru makin ruwet tatkala anak perusahaan PT Lapindo Brantas, yakni PT Minarak Lapindo Jaya, membeli sejumlah lahan milik korban semburan lumpur. Masalahnya adalah dari segi hukum, ungkap Mujib.

 

Menurut Mujib, sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA), sebuah perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT) tak berhak memiliki sebidang tanah. Makanya jual-beli ini tidak sah, ujar Mujib.

 

Menurut Mujib, Lapindo hanya berhak mengantongi hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut bisa berbentuk Hak Guna Usaha (HGU) serta Hak Guna Bangunan (HGB). Jadi, seharusnya Lapindo membayar warga dalam bentuk ganti rugi, bukannya jual-beli.

 

Selain itu, bentuk fisik yang ditransaksikan sudah berubah rupa. Ini jual-beli tanah atau lumpur? sambung Mujib dengan nada tanya. Karena itu, Mujib meminta jual-beli tersebut dibatalkan dan diubah menjadi ganti rugi.

 

Timnas akan Berakhir

Belum rampung masalah ini, justru masa kerja Timnas Lapindo akan tuntas. Sebenarnya timnas ini berakhir masa tugasnya pada 8 Maret 2007. Namun jangka waktunya diperpanjang sebulan.

 

Karena itulah, sebelum ‘pensiun' pada 8 April nanti, Pansus meminta Timnas Lapindo menuntaskan menyelesaikan pembayaran uang kontrak dan uang pindah kepada semua pengungsi. Selain itu, Timnas kudu menambah personil tim verifikasi.

 

Untuk penanganan selanjutnya, Pemerintah harus membentuk sebuah badan khusus, ujar Wakil Ketua Pansus, Luther Kombong. Badan yang dimaksud adalah semacam Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) di Aceh dan Nias pasca gempa tsunami.

 

Sementara itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjuk Universitas Brawijaya Malang melakukan studi atas semburan lumpur ini. Kami harap selambatnya bulan depan hasil riset bisa kami terima, ujar Ketua BPK Anwar Nasution seusai Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (30/3). Menurut Anwar, hasil riset tersebut menjadi pijakan untuk mengaudit kasus ini.

 

Dampak semburan lumpur ini, Diperkirakan bisa hingga puluhan tahun ke depan, ungkap Mujib, Luther, dan Jum, yang juga dibenarkan oleh Anwar. Rupanya, nasib orang susah memang selalu berkepanjangan.

Luapan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak 29 Mei 2006 berbuntut panjang. Lumpur panas ini menyembur akibat aktivitas PT Lapindo Brantas, perusahaan gas milik Bakrie dan Medco.

 

Pemerintah merespon masalah ini dengan membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo (Timnas Lapindo). Barulah sepuluh bulan kemudian, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk Panitia Khusus (Pansus) Lapindo.

 

Nampaknya 8.037 warga pengungsi korban semburan lumpur Lapindo harus lebih bersabar lagi. Nasib mereka terkatung-katung lantaran belum menerima ganti rugi (cash and carry). Uang ganti rugi tersebut mencakup uang sewa rumah beserta jaminan hidup (jadup). Bukannya Lapindo tak punya dana. Dana sudah siap, ujar Wakil Ketua Pansus Lapindo, Mujib Imron, pada jumpa pers di ruang DPD, Jumat (30/3).

 

Menurut Jum Perkasa, Ketua Pansus Lapindo, pencairan dana itu tersandung masalah verifikasi. Banyak warga yang tak punya sertifikat tanah. Tim verifikasi kebingungan mendata siapa saja yang berhak mendapat ganti rugi, ungkapnya. Hingga kini, Lapindo baru mengucurkan seperlima dari total dana ganti rugi.

 

Celakanya, jumlah awak tim verifikasi ini cuma 24 orang. Jumlah segitu tentu saja sangat kesulitan untuk mengurusi lebih dari dua ribu kepala keluarga. Menurut Jum, tim verifikasi baru bisa menyelesaikan data kurang dari tujuh puluh kepala keluarga.

Halaman Selanjutnya:
Tags: