Dorong Minat Investor, ESDM Rilis Permen Listrik Biomassa dan Biogas
Berita

Dorong Minat Investor, ESDM Rilis Permen Listrik Biomassa dan Biogas

Ada beberapa hal yang diatur dalam Permen ESDM ini, di antaranya kewajiban PLN untuk menyusun model Perjanjian Jual Beli Listrik standar.

KAR
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian ESDM. Foto: RES
Gedung Kementerian ESDM. Foto: RES
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis peraturan teranyar terkait dengan pengembangan pembangkit tenaga listrik berbasis biomassa dan biogas. Peraturan itu adalah Permen ESDM No. 27 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Permen ESDM No. 27 Tahun 2014 itu merupakan revisi atas Permen ESDM No. 4 Tahun 2012.

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Rida Mulyana, revisi itu dilakukan untuk mendorong minat investor dalam pengembangan pembangkit listrik berbasis biomassa dan biogas. Pasalnya, Rida melihat bahwa sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 4 Tahun 2012, investasi swasta untuk penyediaan listrik berbasis biomassa dan biogas on grid masih rendah.

“Salah satu penyebabnya adalah terdepresiasinya nilai rupiah terhadap dolar dan meningkatnya harga biomassa,” katanya dalam Acara Launching Peraturan Menteri ESDM No. 27 Tahun 2014di Jakarta, Rabu (22/10).

Rida menambahkan, Permen ESDM terbaru itu prinsipnya merupakan langkah konkret pemerintah untuk mengurangi pemanfaatan energi fosil khususnya bahan bakar minyak (BBM). Ia menegaskan, langkah ini akan mulai diterapkan terutama dari daerah-daerah yang memiliki ketergantungan terhadap BBM dan wilayah kepulauan yang masih memiliki rasio elektrifikasi rendah.

Ia menuturkan, pembangkit listrik berbasis bioenergi memiliki potensi di daerah-daerah terpencil yang berasal dari limbah kehutanan, limbah pertanian, industri kelapa sawit, industri kertas, dan industri tapioca. Pada 2013, potensi biomassa di Indonesia tercatat sebesar 32.654 MW dan sebesar 1.716,5 MW telah dikembangkan. Sementara, pengembangan pembangkit listrik berbasis bioenergi (on grid) sampai dengan 2013 mencapai sekitar 90,5 MW. Di sisi lain, pengembangan pembangkit listrik berbasis bioenergi (off-grid) sekitar 1.626 MW. Energi yang diamnfaatkan dalam pembangkit listrik tersebut adalah biomassa, biogas, dan sampah kota.

Permen ini juga mengatur skema penjualan listrik. Selama ini, penyediaan energi listrik dari PLTBg dan PLTBm di dominasi dengan skema penjualan kelebihan tenaga listrik (excess power), dan bukan merupakan pembangunan pembangkit listrik baru yang dedicated untuk penyediaan energi listrik (Independent Power Producer-IPP) ke jaringan PLN.

Permen ini memberikan kesempatan kepada badan usaha yang telah berjalan (PLT eksisting) untuk dapat melakukan negosiasi dengan PT PLN (Persero) menggunakan besaran FiT sebagai harga acuan tertinggi. Hal lain yang diatur dalam Permen terbaru itu adalah prosedur dan persyaratan penetapan pengelola energi biomassa dan energi biogas untuk pembangkit listrik. Ada pula ketentuan terkait dengan kewajiban PLN untuk menyusun model Perjanjian Jual Beli Listrik standar.

Rida berharap, pada tahun 2025, Indonesia diharapkan dapat menggunakan energi baru-terbarukan sebesar 23% dalam suplai energi nasional. Hal tersebut sesuai dengan target yang dicanangkan pemerintah dalam Kebijakan Energi Nasional yang termuat dalam Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006.

“Kita harap target itu tercapai. Berbagai upaya mengembangkan energi baru-terbarukan untuk tenaga listrik on-grid tenaga biomassa dan biogas telah dilakukan. Kita sudah berikan prioritas pengembangan energi baru setempat, insentif pajak penghasilan untuk investasi energi terbarukan, pembebasan bea masuk untuk energi baru, dan kemudahan prosedur perijinan,” pungkasnya.

Di sisi lain, pengamat energi dari UI, Iwa Gurniwa menilai, pemerintahan di bawah komando Presiden SBY gagal menyelesaikan masalah kelistrikan. Ia menuturkan, program pengurangan konsumsi BBM dan peningkatan pemanfaatan energi baru-terbarukan jalan di tempat. Menurutnya, hal itu tercermin dari membengkaknya subsidi untuk listrik.

“Secara keseluruhan subsidi listrik naik berkali lipat. Dalam sepuluh tahun ini kenaikannya dari Rp 3 triliun menjadi Rp 10 triliun,” ujarnya.

Namun, tambah Iwan, kegagalan itu bukan hanya kesalahan SBY. Ia mengingatkan, kesalahan juga disebabkan oleh kementerian dan sistem pemerintahan. Oleh karena itu, ia berharap pemerintahan Jokowi saat ini bisa membenahi kementerian dan sistem pemerintahannya agar persoalan energi terselesaikan.

“Jangan disalahkan SBY sebagai presidennya, tapi juga kementeriannya atau sistem pemerintahannya. Maka, Jokowi harus membenahi sistem itu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait