Dominasi Kepentingan Politik dalam Pemilihan Anggota Komnas HAM
Fokus

Dominasi Kepentingan Politik dalam Pemilihan Anggota Komnas HAM

Di luar dugaan, hasil pemilihan anggota Komnas HAM oleh Komisi II DPR-RI justru menyingkirkan tokoh-tokoh yang selama ini dikenal menggeluti persoalan-persoalan HAM. DPR agaknya telah melupakan prinsip independensi dan pluralisme. Apa jadinya?

AWi/APr
Bacaan 2 Menit

 

Prinsip Paris menekankan betapa pentingnya pluralisme di dalam tubuh sebuah Lembaga Nasional HAM. Tidak menutup kemungkinan ikut berperannya seorang pejabat pemerintah untuk dapat menjadi anggota Komnas HAM. Akan tetapi, hal ini hanya sebatas sebagai penasehat lembaga.

 

Pluralisme sebenarnya dapat dicapai melalui rekrutmen anggota yang transparan, partisipatif. Terutama, oleh kelompok-kelompok yang secara jelas telah disebutkan dalam Prinsip Paris tersebut. Selain itu, juga dibutuhkan adanya panitia atau penyelenggara seleksi yang netral dan terdiri dari sejumlah individu yang berasal dari berbagai kekuatan masyarakat sipil.

 

Plural dan independen

 

Kriteria calon anggota serta aturan penyelenggara proses seleksi juga harus diatur terlebih dahulu. Salah satu kriteria anggota Komnas HAM yang penting adalah calon bukanlah individu yang pernah terlibat dalam sebuah tindakan atau kegiatan yang melanggar HAM, baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari institusi tertentu.

 

Hal ini sangat penting agar kredibilitas anggota tetap terjaga sebagai individu yang selalu berpihak pada penegakkan HAM. Indikator independensi yang merupakan sikap atau posisi di mana tidak ada pihak yang bisa melakukan intervensi terhadap kegiatan lembaga dalam melaksanakan mandatnya.

 

Namun, independensi ini tidak boleh dilihat sebagai sebuah sikap atau posisi netral. Pasalnya dalam perjuangan menegakan HAM, Komnas HAM justru harus bisa lebih berpihak kepada para korban pelanggaran HAM serta kelompok-kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Tanpa adanya keberpihakan, Komnas HAM hanya akan menjadi sebuah institusi hukum yang memang harus bersikap netral.

 

Dari kedua prinsip utama tersebut, tampak bahwa proses seleksi merupakan pintu gerbang untuk menghasilkan Komnas HAM yang mampu bekerja secara efektif dalam melaksanakan mandatnya. Tanpa adanya proses seleksi yang mampu menghasilkan pluralisme dan independensi, Komnas HAM tidak akan pernah bisa bekerja efektif sesuai dengan persyaratan Prinsip Paris.

 

Sayangnya, kedua prinsip utama ini seperti dilupakan oleh DPR. Itu setidaknya bisa dinilai dari hasil yang telah dikeluarkan oleh rapat pleno Komisi II DPR-RI. Hasil fit and proper test tersebut jelas menunjukkan adanya komposisi keanggotaan yang tidak plural dan independen.

Tags: