Dekadensi Bangsa karena Korupsi
Kolom

Dekadensi Bangsa karena Korupsi

Sidang pengadilan paripurna DPR pada 18 Maret 2002 mengambil keputusan untuk menunda pembahasan masalah Pansus Buloggate II sampai Mei 2002. Dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Maret telah memulai persidangan untuk memeriksa kasus Akbar Tanjung, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang. Lalu, apa sajakah kiranya yang akan terjadi selanjutnya di negeri kita.

Bacaan 2 Menit

Seperti yang sudah diungkap oleh berbagai tokoh (dalam negeri dan luarnegeri), penyakit terparah atau kerusakan terberat yang dihadapi bangsa kita dewasa ini adalah justru di bidang penegakan hukum. Pembusukan di bidang hukum dan peradilan di negeri ini adalah salah satu di antara kerusakan-kerusakan utama yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru/Golkar. Ini bisa kita saksikan tidak saja di Jakarta, melainkan juga di daerah-daerah.

Kasus Akbar hanyalah sebagian saja

Kalau dilihat secara keseluruhan, kasus Akbar Tanjung hanyalah satu bagian kecil saja dari persoalan-persoalan korupsi yang sudah menggunung selama puluhan tahun. Dan jumlah dana yang tersangkut (Rp40 milyar), walaupun sudah besar sekali, masih relatif kecil kalau dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi lainnya. Kita ingat bahwa dalam kasus BLBI tersangkut dana yang sungguh-sungguh "mengerikan", yaitu sekitar Rp144,5 triliiun. Supaya lebih jelas dalam membayangkan betapa besarnya jumlah ini, mohon ditambah 12 nol di belakang angka Rp144 itu, sehingga menjadi Rp144.000.000.000.000.

Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mengusut sedikitnya 36 konglomerat yang diduga terlibat kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mereka segera diadili paling lambat sampai bulan Agustus 2002. Kasus puluhan direksi dan pemilik bank bermasalah, yang disinyalir terkait dengan 51 perkara BLBI bernilai Rp 144,5 triliun itu, ditangani Kejagung sejak empat tahun lalu. Kejagung akan mendatangkan secara khusus konglomerat Sjamsul Nursalim, tersangka penyalahgunaan BLBI bernilai Rp 11,9 triliun, yang kini dikabarkan berada di Singapura.

Dalam kaitan ini, perlu sama-sama kita perhatikan adanya tuntutan dari berbagai kalangan masyarakat untuk diusutnya lebih lanjut oleh aparat-aparat penegak hukum terhadap tuduhan bahwa 10 partai politik (selain Golkar) juga telah menerima dana gelap dari Bulog dan  dalam jumlah-jumlah yang besar pula. Kalau tuduhan ini ternyata benar, maka makin nyatalah bahwa pembusukan ini memang betul-betul sudah menjangkiti banyak kalangan penting di republik kita ini. Justru karena itulah, makin mutlak perlunya kasus Akbar Tandjung diselesaikan setuntas-tuntasnya secara hukum, politik, moral, dan sesuai dengan kebenaran dan rasa-keadilan.

Pengawasan publik diperlukan

Jadi, kita bisa bayangkanlah bahwa Kejagung sekarang memang sedang menghadapi kasus-kasus besar  yang menyangkut juga dana-dana yang besar juga. Karena itu, mengingat reputasi yang tidak luhur dari para penegak hukum selama puluhan tahun ini, maka adalah hak dan kewajiban masyarakat untuk ikut mengawasi pelaksanaan tugas mereka, termasuk dalam menangani kasus Akbar Tanjung.

Sebab pada hakekatnya, kasus besar ini  bukanlah semata-mata urusan "pribadi"  Akbar Tandjung saja, melainkan juga berkaitan dengan urusan-urusan besar republik kita lainnya. Dalam konteks situasi di republik kita, yang sedang dirundung pembusukan (korupsi atau dekadensi) seperti dewasa ini, kasus Akbar Tandjung mempunyai arti penting yang istimewa.

Karenanya, adalah amat penting bahwa opini publik di Indonesia secara terus-menerus dan dengan berbagai cara dan bentuk, menyuarakan dengan lantang bahwa dalam menghadapi masalah besar ini, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara) tidak boleh dibiarkan melakukan manipulasi atau rekayasa apa pun, baik karena suapan maupun karena ancaman dari fihak mana pun juga. Sebab, Partai Golkar yang mempunyai dana dan jaring-jaringan kekuasaan yang masih besar, kini sedang menggelar beraneka-macam kegiatan. Lobi-lobi terus dilancarkan ke berbagai arah.

Tags: