Dekadensi Bangsa karena Korupsi
Kolom

Dekadensi Bangsa karena Korupsi

Sidang pengadilan paripurna DPR pada 18 Maret 2002 mengambil keputusan untuk menunda pembahasan masalah Pansus Buloggate II sampai Mei 2002. Dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Maret telah memulai persidangan untuk memeriksa kasus Akbar Tanjung, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang. Lalu, apa sajakah kiranya yang akan terjadi selanjutnya di negeri kita.

Bacaan 2 Menit

Sekarang ini, tiap hari kita dibanjiri oleh beraneka-ragam berita (atau "dongeng") tentang persoalan Tommy Suharto, Akbar Tandjung, Subiyakto Tjakrawerdaja, Tanri Abeng, Bustanil Arifin, Hashim Djojohadikusumo, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, Ginanjar Kartasasmita, Syahril Sabirin, Hendra Rahardja, Syamsul Nursalim,  dan seterusnya.

Maka, makin jelaslah bagi banyak orang bahwa  pembusukan ini telah dimulai sudah sejak lama, yaitu sejak berdirinya Orde Baru. Orde Baru bukan hanya telah melakukan banyak pelanggaran besar-besaran (dan dalam jangka lama pula!) terhadap hak asasi manusia dan demokrasi, melainkan juga melakukan pembusukan dalam berbagai segi kehidupan bangsa.

Kasus Akbar sebagai pendidikan

Sebagian dari rakyat kita,  akhir-akhir ini telah mendengar dengan asyik (dan sebagian lainnya dengan rasa marah atau muak) tentang berbagai "dongeng" sekitar kasus Akbar Tandjung, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang.  Kita semua patut bersiap-siap bahwa selanjutnya kita akan terus disuguhi "pertunjukan politik" dan "dagelan hukum"  yang amat menarik.

Sejak bulan Oktober yang lalu, pertunjukan "pengantar" telah dimainkan di atas panggung, dengan munculnya adegan-adegan : soal "kelupaan" nama yayasan yang ditugaskan membagi sembako bagi rakyat miskin, disusul oleh adegan lembaran check yang tidak pernah disentuh, kemudian adegan berbagai cerita pimpinan Raudlatul Jannah tentang penyebaran sembako dengan begitu banyak truk dan paket ke lima propinsi, disusul oleh "nasib" almarhum Dadi Sukardi (sopir) yang dikambing-hitamkan sebagai penyeleweng dana, dan kemudian adegan tentang cerita sudah "kembalinya" dana bulog sebesar Rp40 miliar yang "disimpan" di suatu kamar saja selama bertahun-tahun!.

Mungkin, disidangkannya kasus Akbar Tandjung di depan pengadilan akan merupakan salah satu di antara peristiwa "maha-penting" dan bersejarah dalam dunia hukum, yang sekaligus juga peristiwa besar dalam kehidupan politik di republik kita. Sebab, kasus ini menyangkut ketua Dewan Perwakilan Rakyat (instansi legislatif tertinggi) dan juga ketua umum Partai Golkar (satu kekuasaan politik yang pernah menguasai republik kita bersama ABRI selama lebih dari 30 tahun).

Oleh karena itu, demi kepentingan collective memory (ingatan kolektif) bangsa, adalah ideal sekali kalau berbagai kalangan profesional dalam penulisan dan penerbitan sejak sekarang sudah mempersiapkan diri untuk mengabadikan peristiwa ini dalam bentuk buku. Sedangkan bagi berbagai pakar di bidang hukum dan peradilan, politik, moral, ketatanegaraan, kriminologi, keparlementeran, dunia kepartaian, kasus ini merupakan kesempatan untuk menyumbangkan karya-karya mereka bagi kepentingan bangsa (dan generasi kita yang akan datang).

Juga amat penting bagi universitas-universitas (terutama fakultas hukum) untuk menjadikan kasus Akbar Tandjung sebagai salah satu obyek studi atau kegiatan akademis dan mendorong para mahasiswa untuk mengikutinya dengan cermat sebagai sarana pendidikan dan penelitian. Dalam rangka slogan-slogan yang sudah sering digembar-gemborkan tentang penegakan hukum atau supremasi hukum, maka arti penting persidangan Akbar Tandjung ini makin menonjol.

Halaman Selanjutnya:
Tags: