Debitur Gagal Bayar, Dapatkah Fintech P2P Lending Bertanggung Jawab?
Terbaru

Debitur Gagal Bayar, Dapatkah Fintech P2P Lending Bertanggung Jawab?

Ketika debitur gagal bayar, fintech P2P lending dapat bertanggung jawab asalkan memenuhi dua syarat: fintech P2P lending tidak memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sebagaimana peraturan OJK dan regulasi lain; serta memiliki komponen melawan hukum, curang, dan niat jahat.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 6 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pesatnya perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat akan pinjaman dana mengakibatkan industri fintech peer-to-peer lending (P2P lending) tumbuh sebagai solusi baru dalam dunia keuangan. Mekanisme ini, memungkinkan pemberi pinjaman dan peminjam, dapat berinteraksi tanpa perantara lembaga keuangan tradisional. Per 12 Juli 2024, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, ada 98 perusahaan fintech P2P lending yang resmi beroperasi. Dengan total penyaluran dana mencapai Rp61,09 triliun (pada Februari 2024)—industri ini tampak menjanjikan.

 

Namun, di balik nominal yang fantastis, muncul tantangan besar berupa kredit macet atau gagal bayar. Pada Februari 2024, OJK pun melaporkan angka kredit macet yang mencapai Rp1,79 triliun atau sekitar 2,95 persen dari total penyaluran dana. Ketika debitur tak mampu membayar, risiko ini tidak hanya ditanggung oleh peminjam, tetapi juga berdampak pada ekosistem fintech secara menyeluruh, tak terkecuali reputasi perusahaan penyedia platform.

 

Kasus gagal bayar ini kerap kali berlanjut perkara pidana. Baru-baru ini, kreditur atau pemberi pinjaman (lender) melaporkan perusahaan fintech P2P lending ke pihak kepolisian akibat debitur atau peminjam (borrower) dari fintech P2P lending gagal bayar. Perusahaan fintech P2P lending tersebut dilaporkan atas adanya dugaan tindak pidana penipuan, dan/atau penggelapan, dan/atau tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik, dan/atau tindak pidana pencucian uang.

 

Of Counsel Kantor Hukum Marieta Mauren, Vidya Prahassacitta menjelaskan, pada dasarnya hubungan hukum yang terjadi antara fintech P2P lending dengan kreditur dan debitur merupakan hubungan perdata berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini, kreditur merupakan seorang atau sekelompok orang pemilik dana yang hendak meminjamkan dana kepada debitur yang akan menggunakan dana untuk kepentingan tertentu, terutama kepentingan bisnis dan ekonomi.

 

”Keberadaan fintech P2P lending merupakan perantara yang menghubungkan antara kreditur dengan debitur dalam kegiatan hukum ini. Fintech P2P lending membuat platform online yang menyediakan fasilitas bagi kreditur untuk memberikan pinjaman secara langsung kepada debitur dengan ‘nilai pengembalian’ lebih tinggi. Di sisi lain debitur bisa mengajukan kredit secara langsung kepada kreditur dengan syarat yang lebih mudah dan proses yang lebih cepat dibandingkan ke lembaga keuangan konvensional,” kata Vidya.

 

Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022) menegaskan hubungan hukum tersebut. Dalam peraturan ini, fintech P2P lending merupakan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Pasal 30 Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 mensyaratkan minimal adanya dua perjanjian dalam perbuatan hukum peminjaman dana melalui platform online milik fintech P2P lending.

 

Pertama, perjanjian antara kreditur dan debitur. Ini menjadi hubungan hukum yang utama atau pokok dalam perbuatan hukum ini. Fintech P2P lending bertindak sebagai penyelenggara untuk membuat butir-butir kesepakatan di antara kedua belah pihak tersebut untuk kemudian dituangkan dalam perjanjian (dokumen elektronik) serta menyalurkan dana dari kreditur kepada debitur. Kedua, perjanjian antara kreditur dengan fintech P2P lending. Perjanjian ini berkaitan dengan kesepakatan pengelolaan dan penyaluran dana milik kreditur yang dilakukan oleh fintech P2P lending.

Tags:

Berita Terkait