Debitur Gagal Bayar, Dapatkah Fintech P2P Lending Bertanggung Jawab?
Terbaru

Debitur Gagal Bayar, Dapatkah Fintech P2P Lending Bertanggung Jawab?

Ketika debitur gagal bayar, fintech P2P lending dapat bertanggung jawab asalkan memenuhi dua syarat: fintech P2P lending tidak memenuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sebagaimana peraturan OJK dan regulasi lain; serta memiliki komponen melawan hukum, curang, dan niat jahat.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 6 Menit

 

”Secara hukum, debitur yang gagal bayar akan mengakibatkan terjadinya wanprestasi, yang dalam hal ini terhadap perjanjian antara kreditur dan debitur,” lanjut Vidya.

 

Tanggung Jawab Fintech P2P Lending

Sebagai penyelenggara platform elektronik di bidang penyaluran dana, fintech P2P lending memiliki dua tanggung jawab. Exante-liability atau pertanggung jawaban sebelum terjadinya suatu peristiwa, dan ex-post-liability yaitu tanggung jawab hukum untuk memulihkan keadaan yang telah dirugikan.

 

Pertama, exante-liability merupakan tanggung jawab untuk mematuhi semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tanggung jawab ini berkaitan dengan adanya upaya pencegahan agar tidak terjadi suatu peristiwa yang merugikan atau membahayakan baik kepentingan kreditur maupun debitur. Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 mengatur kewajiban fintech P2P lending sebagai penyelenggara dalam perbuatan hukum peminjaman dana antara kreditur dengan debitur. Kewajiban ini antara lain melakukan penyaluran pendanaan produktif atau multiguna dari kreditur kepada debitur sesuai dengan profil pemberi dan penerima dana, memberikan batas maksimum pendanaan, serta melakukan manajemen risiko sesuai Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, fintech P2P lending juga bertanggung jawab sebagai penyelenggara sistem elektronik yang dikelolanya. Kewajiban tersebut terkait dengan penyimpan, menjaga kerahasiaan, keutuhan, ketersediaan data pribadi, data transaksi dan data pendanaan, serta memastikan proses autentifikasi, verifikasi dan validasi, menjamin perolehan, penggunaan dan pemanfaatan terhadap data-data tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegagalan terhadap pemenuhan kewajiban ini merupakan pelanggaran administratif yang dikenakan sanksi administratif.

 

Kedua, ex-post-liability yaitu tanggung jawab hukum terhadap kerugian baik akibat dari kelalaian maupun kesengajaan yang berakibat pada terjadinya kerugian baik debitur maupun kreditur. Tanggung jawab ini berupa tanggung jawab di bidang hukum perdata maupun pidana. Fintech P2P lending dapat diminta pertanggungjawaban, ketika tidak melakukan kewajibannya sebagai penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menyebabkan kerugian baik kepada kreditur atau debitur. Misalnya, fintech P2P lending tidak memberikan semua informasi serta data yang lengkap dan benar kepada kreditur mengenai analisis manajemen risiko kepada kreditur. Apabila kreditur mengalami kerugian akibat hal ini, fintech P2P lending memiliki tanggung jawab untuk memulihkan kerugian. Pertanggungjawaban perdata dapat diminta dengan mengajukan gugatan melawan hukum Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk meminta ganti kerugian.  Sebaliknya apabila fintech P2P lending telah memberikan semua informasi yang benar dan lengkap mengenai analisis manajemen risiko kepada kreditur dan terjadi peristiwa debitur gagal bayar, fintech P2P lending tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. 

 

Kedua tanggung jawab tersebut dapat dibebankan secara bersamaan. Fintech P2P lending bertanggung jawab apabila pihaknya tidak memenuhi kewajiban sebagai penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Terhadap pelanggaran ini, fintech P2P lending dapat dikenakan sanksi administratif oleh OJK. Pada saat yang bersamaan, fintech P2P lending bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi terhadap ketidakpatuhannya sehingga menyebabkan kerugian finansial bagi kreditur. Sebaliknya fintech P2P lending tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban apa pun selama telah mematuhi kewajibannya sebagai penyelenggara sesuai dengan Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 dan peraturan undang-undangan. Termasuk apabila debitur gagal bayar.

 

Dapatkah Fintech P2P Lending Dibebankan Pertanggungjawaban Pidana?

Menurut Vidya, dalam hukum pidana, subjek hukum dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi dua hal. Pertama, subjek hukum memenuhi perbuatan tindak pidana yang dirumuskan dalam undang-undang. Perbuatan ini harus dilakukan dengan cara yang melawan hukum. Kedua, ada kesalahan pada diri pelaku sehingga ia dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Hal ini berkaitan dengan adanya niat jahat atau evil mind dari diri pelaku.

 

Fintech P2P lending memiliki tanggung jawab apabila sebagai penyelenggara ia melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, perlu dipahami bahwa konsep melawan hukum dalam hukum pidana berbeda dengan hukum perdata. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum terkait dengan private wrong yaitu perbuatan tercela yang ditujukan kepada individu. Berbeda dengan melawan hukum dalam hukum pidana yang berkaitan dengan public wrong, yaitu perbuatan tercela terhadap nilai-nilai dan kepentingan yang menjadi perhatian bersama di masyarakat. Public wrong mensyaratkan adanya keseriusan karena perbuatan yang tercela tersebut harus menarik perhatian hukum sehingga tidak cukup hanya ada perbuatan tercela dalam lingkup hubungan antarpribadi. Di sisi lain, public wrong juga mensyaratkan adanya kerugian atau bahaya yang serius terhadap kepentingan individu dan masyarakat secara luas yang disebabkan dari perbuatan yang melanggar norma-norma. Ketika fintech P2P lending sebagai penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan para kreditur, maka perbuatan ini masuk dalam lingkup private wrong.

Tags:

Berita Terkait