Berkaca dari Kasus Nuril, UU ITE Masih Rawan Kriminalisasi
Kolom

Berkaca dari Kasus Nuril, UU ITE Masih Rawan Kriminalisasi

Sejak diundangkan pada tahun 2008, UU ITE kerap kali kali menelan korban karena pasal-pasalnya yang multitafsir.

Bacaan 2 Menit

 

Trapman, seorang ahli hukum Belanda pernah menyatakan jaksa berangkat dari posisi subjektif menuju penilaian objektif, penasehat hukum berangkat dari posisi subjektif menuju penilaian objektif, sementara hakim berangkat dari posisi objektif menuju penilaian objektif. Terakhir, terdakwa yang berangkat dari posisi subjektif menuju penilaian yang tentunya juga subjektif. Mengacu pada rumus tersebut, hakim diharapkan mampu memberikan putusan yang objektif dalam menanggapi kasasi yang diajukan jaksa. Dalam kaitannya dengan kasus ini, hakim Mahkamah Agung seharusnya meluruskan kekeliruan yang terjadi pada tahap penyidikan dan penuntutan.

 

Unsur subjektif sebagai syarat pemidanaan

Untuk dapat dipidananya seseorang, syarat-syarat pemidanaan mutlak harus dapat dibuktikan seluruhnya. Doktrin hukum pidana menjelaskan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang, selain unsur objektif yang berkenaan dengan perbuatan (actus reus), unsur subjektif terkait sikap batin pelaku (mens rea) juga harus dapat dibuktikan, kecuali untuk tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan undang-undang sebagai tindak pidana yang menganut asas pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.

 

Unsur objektif erat kaitannya dengan asas legalitas (noela poena sine lege); tiada pidana tanpa aturan, sementara unsur objektif erat kaitannya dengan asas culpabilitas (noela poena sine culpa); tiada pidana tanpa kesalahan. Perbuatan harus bersifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, sementara pelaku harus memiliki kemampuan bertanggung jawab, dapat dibuktikannya unsur kesalahan dalam dirinya baik sengaja (dolus) maupun lalai (culpa) dan tidak ada alasan pemaaf. Keseluruhan persyaratan tersebut bersifat kumulatif.

 

Persoalan fundamental dalam kasus ini adalah bagaimana polisi, jaksa, dan terutama hakim seharusnya mampu menjelaskan bahwa syarat untuk dapat dipidananya seseorang bukan hanya perbuatannya bersifat melawan hukum, tetapi juga harus dapat dibuktikan adanya kesalahan dalam diri pelaku. Apabila mengacu pada ketentuan pasal 27 ayat 1 UU ITE, kegiatan “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” tersebut harus dilakukan dengan sengaja.

 

Dengan mengacu pada teori kehendak (wils theorie), pelaku harus mengetahui dan menghendaki baik perbuatan maupun akibatnya (willen en wetten) yang mana dalam kasus Nuril seharusnya tidak terbukti. Tafsir bahwa karena Nuril melakukan perekaman dan dirinya menjadi bertanggungjawab atas tersebarluasnya isi rekaman tersebut karena ia seharusnya patut menduga atau dapat membayangkan akibat yang mungkin terjadi setelah sempat menyerahkan telepon genggamnya pada HIM jelas merupakan tafsir keliru yang sama sekali tidak memperhitungkan posisi Nuril yang justru adalah korban yang ingin memperjuangkan haknya.

 

Hakim seharusnya memperhatikan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum (Perma No. 3/2017) dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa dan ketidaksetaraan antara pihak yang berperkara.

 

Dalam kerangka due procces of law, selain harus mengupayakan Tersangka/Terdakwa yang bersalah mendapat hukumannya, Sistem Peradilan Pidana juga harus berusaha semaksimal mungkin agar pendakwaan dan peradilan seorang yang tidak bersalah dapat dicegah. Prinsip ini sejalan dengan adagium yang berbunyi “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait