Berkaca dari Kasus Nuril, UU ITE Masih Rawan Kriminalisasi
Kolom

Berkaca dari Kasus Nuril, UU ITE Masih Rawan Kriminalisasi

Sejak diundangkan pada tahun 2008, UU ITE kerap kali kali menelan korban karena pasal-pasalnya yang multitafsir.

Bacaan 2 Menit

 

Sistem Peradilan Pidana yang pada hakikatnya bertujuan untuk menanggulangi kejahatan kerap kali justru menjadi faktor kriminogen. Persoalan timbul ketika Sistem Peradilan Pidana bukannya menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru, salah satunya adalah fenomena secondary victimization sebagaimana terlihat dalam kasus Nuril.

 

Nuril yang merupakan korban pelecehan seksual dan berkeinginan memperjuangkan haknya justru dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Kasus ini mempertontonkan bagaimana Nuril menjadi korban untuk kedua kalinya.

 

Parameter pengajuan kasasi oleh jaksa harus diperketat

Salah satu persoalan yang mengundang kontroversi dalam kasus Nuril adalah kasasi yang diajukan jaksa setelah putusan pengadilan sebelumnya menyatakan Nuril bebas. Berdasarkan doktrin dalam hukum pidana, apabila hakim berpendapat salah satu unsur tertulis tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa diputus bebas (vrijspraak).

 

Sementara itu, berdasarkan Pasal 244 KUHAP disebutkan, “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.

 

Namun demikian Pasal 253 ayat 1 KUHAP menyatakan “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan: a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

 

Mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (1) tersebut, jaksa dimungkinkan untuk mengajukan kasasi dengan menggunakan alasan-alasan yang secara limitatif diatur dalam pasal itu. Selain mengacu pada KUHAP, pengajuan kasasi oleh jaksa juga mengacu pada yurisprudensi, Surat Edaran Jaksa Agung Tahun 1990 Tentang Petunjuk Penyusunan atas Memori Kasasi atas Putusan Bebas dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012.

 

Apa yang menjadi catatan adalah pengajuan kasasi oleh jaksa harus punya alasan yang jelas sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga kasasi tidak diajukan secara serampangan. Parameter pengajuan kasasi oleh jaksa harus diatur secara lebih ketat mengingat begitu banyaknya kasasi yang diajukan jaksa yang terkadang bukan didasarkan pada alasan-alasan yang diatur dalam KUHAP dan hal ini akan membuat proses penanganan perkara menjadi lebih lama dan memakan biaya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait