Beragam Usulan Cara Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan
Berita

Beragam Usulan Cara Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan

Mulai mengoptimalisasikan pembayaran iuran dari peserta, subsidi silang dari cukai rokok, cost sharing, mendorong pemerintah mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit, hingga menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi fraud atau kecurangan di lapangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Pola pembayaran INA-CBG ini membuat oknum rumah sakit “bermain” angka. Menurutnya, berapapun pasti preminya dimungkinkan terdapat dana yang meningkat. Akibatnya, bakal banyak klaim fiktif. Makanya, tak ada manfaat pula dinaikan iuran BPJS Kesehatan. “Sampai sekarang belum bisa dihentikan karena masih berlangsung dan penyebabnya adalah tidak adanya sanksi hukum yang tegas masih sifatnya administratif,” kata dia.

 

Solusi yang mungkin dilakukan pemerintah, kata Hery, merevisi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Menurutnya, dibutuhkan pengaturan baru dalam mengatasi keterpurukan pengadaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Begitu pula perlunya perbaikan berbagai instrumen teknis bagi pelayanan kesehatan.

 

Dia juga mengusulkan bila BPJS Kesehatan dipandang tak mampu menangani pelayanan kesehatan masyarakat dengan baik, jaminan kesehatan nasional dialihkan ke Badan Penyelenggara (BP) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), khusus kalangan pekerja. Sementara BPJS Kesehatan nantinya hanya mengurus masyarakat kategori miskin, Aparatus Sipil Negara (ASN), dan non-ASN.

 

Seperti diketahui, pada pertengahan Februari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi defisit BPJS Kesehatan pada 2020 sebesar Rp15,5 triliun. Angka ini lebih kecil dari proyeksi defisit tahun 2019 yang sebesar Rp32,8 triliun, namun mendapat suntikan modal dari negara sebesar Rp13,5 triliun. Suntikan modal itu dilakukan tahun lalu untuk mengurangi potensi bengkaknya defisit BPJS Kesehatan pada 2019.

 

Suntikan modal diberikan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) pusat dan daerah, serta Peserta Penerima Upah (PPU) kelompok pemerintah. Suntikan modal itu sebagai konsekuensi dari kenaikan iuran seperti tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen per 1 Januari 2020.

 

Namun, alih-alih bisa menambah pendapatan, aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen itu malah dibatalkan MA melalui uji materi Perpres No. 75 Tahun 2019 itu pada Senin (9/3/2020) lalu. MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS bagi peserta mandiri berupa pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang telah berlaku sejak 1 Januari 2020 seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019.

 

Pasal itu memuat rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen. Dengan rincian, iuran PBPU dan BP untuk Kelas III dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Kemudian peserta Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 dan peserta Kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp160.000. Dengan adanya putusan MA itu, tarif BPJS untuk peserta mandiri kembali ke tarif sebelumnya.  

Tags:

Berita Terkait