Baleg Ajukan Revisi UU Peradilan Agama
Utama

Baleg Ajukan Revisi UU Peradilan Agama

Selain mengatur soal pengalihan organisasi dan finansial dari Departemen Agama kepada MA, RUU ini juga memperbaiki pasal yang selama ini dinilai melecehkan institusi Pengadilan Agama.

Amr
Bacaan 2 Menit
Baleg Ajukan Revisi UU Peradilan Agama
Hukumonline

Demikian pula dengan semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, akan menduduki jabatan yang sama tapi di bawah naungan MA. Hal yang sama juga berlaku terhadap aset milik atau barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama yang akan beralih menjadi inventaris MA.

Selain itu, RUU Perubahan UU No.7/1989 juga melakukan perubahan terhadap kewenangan maupun hukum acara Peradilan Agama. Ketentuan baru di Pasal 3A RUU memungkinkan pembentukan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama.

Kemudian, Pasal 52A RUU Perubahan UU No.7/1989 juga memberikan kewenangan  kepada Pengadilan Agama dalam hal penetapan (isbath) terhadap orang yang telah melihat awal bulan Ramadhan dan Syawal, serta menetapkan Idul Adha pada setiap tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat hilal.

Perubahan Pasal 50

Mengenai hukum acara, RUU Perubahan No.7/1989 mengubah ketentuan Pasal 50 yang mengatur soal penyelesaian obyek sengketa perdata atau hak milik antara subyek hukum yang beragama Islam dengan non Islam. Pasal 50 kemudian dibagi menjadi dua ayat yang masing-masing dibedakan bagi kedua subyek hukum tersebut untuk efisiensi.

Sekadar mengingatkan, ketentuan dalam Pasal 50 UU No.7/1989 menjadikan perkara yang diperiksa di Peradilan Agama harus dihentikan apabila dalam suatu perkara terkait hak milik atau perdata lainnya yang tidak termasuk kompetensi Peradilan Agama.

Masih menurut Pasal 50 UU No.7/1989, perkara terkait hak milik atau perdata lainnya tersebut diserahkan dulu ke pengadilan di lingkungan peradilan umum. Hal demikian membuat berlarut-larutnya proses perkara bersangkutan di Peradilan Agama.

Para pengusul melihat bahwa dalam prakteknya Pasal 50 UU No.7/1989 sering disalahgunakan oleh pihak yang merasa akan dirugikan dengan adanya perkara di Pengadilan Agama tersebut.

Misalnya, papar para pengusul, dalam suatu gugatan cerai oleh isteri yang digabungkan dengan harta bersama dalam perkawinan ataupun dalam perkara warisan, sehingga merugikan isteri yang akan minta cerai atau para ahli waris terhadap barang warisan.

Oleh karena itu, dengan perubahan terhadap Pasal 50 UU No.7/1989 tersebut Pengadilan Agama tetap dinyatakan tetap berwenang memeriksa perkara dimaksud sepanjang pihak-pihak yang mendalilkan adanya perkara milik atau perdata lainnya tersebut merupakan subyek hukum yang ditentukan dalam Pasal 49 yaitu orang-orang yang beragama Islam.

Berikut persandingan rumusan Pasal 50 UU No.7/1989 dengan Pasal 50 RUU Perubahan UU No.7/1989 adalah sebagai berikut: 

UU No7/1989

RUU Perubahan UU No.7/1989

Pasal 50

Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum apabila subyek hukumnya bukan lagi antara orang-orang yang beragama Islam.

Pasal 50

(1)   Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum apabila subyek hukumnya bukan lagi antara orang-orang yang beragama Islam.

(2)   Dalam hal terjadi sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek yang menjadi sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama

Dimintai tanggapannya, pengajar mata kuliah Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Neng Djubaedah menyatakan persetujuannya terhadap perubahan ketentuan Pasal 50 UU No.7/1989. Bahkan, Neng menilai bahwa Pasal 50 bukan hanya menyebabkan inefisiensi dalam berperkara di Pengadilan Agama. Ia menganggap rumusan Pasal 50 sebagai pelecehan terhadap Pengadilan Agama itu sendiri.

"Karena berarti itu seolah-olah hak para hakim pengadilan agama itu tidak mampu menyelesaikan masalah sengketa yang berkaitan dengan harta pihak ketiga," cetus Neng ketika dihubungi hukumonline.

Setelah berhasil menuntaskan pembahasan RUU Perubahan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum dan RUU Perubahan UU No.5/1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengajukan usulan RUU Perubahan atas UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama kepada pimpinan DPR (2/3).

Para pengusul RUU Perubahan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama tersebut terdiri dari 31 anggota Dewan dari berbagai fraksi. Para pengusul diantaranya Muhammad Max Yunus Lamuda (F-PDIP), Mohammad Asikin (F-Reformasi), Eldie Suwadie (F-Partai Golkar), dan Zain Badjeber (F-PPP).

Perubahan UU No.7/1989 merupakan bagian dari tindak lanjut dari reformasi di bidang kekuasaan kehakiman yang ditandai dengan perubahan empat undang-undang di bidang peradilan dan penyatuatapan seluruh badan peradilan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, termasuk Peradilan Agama. Terkait dengan ini, pemerintah telah mengesahkan UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No.5/2004 tentang Perubahan UU No.14/1985 tentang MA.

Dalam Pasal 42 ayat (2) UU No.4/2004 dikatakan bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Agama selesai dilaksanakan paling lambat 30 Juni 2004. Konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama pada MA, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi Agama menjadi pegawai MA.

Halaman Selanjutnya:
Tags: